Wednesday, August 20, 2014

Transformasi Kelembagaan: Mewujudkan DJP Sebagai Lembaga Administrasi Perpajakan Yang Terpercaya


Oleh Toto Sugianto, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Mungkin banyak orang berpikir bahwa organisasi sektor publik seperti instansi pemerintah adalah organisasi yang rigid dan tidak memiliki fleksibilitas, dimana mereka hanya mengerjakan hal-hal sesuai yang dimandatkan oleh undang-undang tanpa ada permasalahan yang  berarti yang memerlukan sebuah perubahan besar. 

Bahkan ada yg berpendapat instansi pemerintah tidak membutuhkan visi dan misi lagi karena tujuannya sudah sangat jelas sesuai peraturan. Namun yang tidak diketahui banyak orang adalah proses mencapai tujuan tersebut.

Instansi pemerintah bukanlah sebuah organisasi tanpa masalah, dan apabila dihadapkan dengan suatu masalah, mereka berada dalam posisi lebih berisiko dibandingkan dengan perusahaan swasta. Hal ini dikarenakan Instansi pemerintah lebih susah dalam mencari solusi atas pemasalahannya mengingat keterbatasannya dalam melakukan manuver-manuver organisasi. 

Hal ini juga berlaku terhadap Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Tujuan DJP yaitu mengumpulkan penerimaan negara di sektor pajak bukanlah hal yang mudah. Banyak kendala yang harus dihadapi di berbagai area mulai dari core business perpajakannya hingga sistem pendukung seperti Sumber Daya Manusia (SDM) dan Teknologi Informasi (IT). 

Kendala-kendala tersebut dapat menimbulkan potensi tidak tercapainya target sesuai yang diamanatkan apabila tidak dibarengi dengan adanya perubahan-perubahan di dalam organisasinya.

Perubahan Organisasi dan Faktor Pendorongnya
Perubahan adalah sebuah keniscayaan. Perubahan terjadi di lingkungan sekitar kita, baik yang berada dalam kontrol kita ataupun tidak. Sebuah organisasi pun akan selalu mengalami dinamika perubahan, baik internal maupun eksternal.

Menurut Charles Darwin, “Mereka yang berumur panjang bukanlah spesies yang terkuat namun mereka yang mampu menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan.” Pernyataan tersebut bukan hanya berlaku pada makhluk hidup saja, namun berlaku juga bagi organisasi.   

Organisasi selayaknya sebuah organisme, ia lahir, tumbuh, berkembang, sakit, dan dapat mati seperti makhluk hidup lainnya. Perubahan lingkungan yang begitu cepat memaksa organisasi untuk dapat menyesuaikan diri jika ingin berumur panjang dan mampu bertahan hidup.

Organisasi-organisasi besar yang mau terus bergerak secara inovatif akan selalu mampu bertahan menyongsong perubahan. Namun sebaliknya, apabila sebuah organisasi puas dengan apa yang dia miliki dan berhenti melakukan perubahan, bisa dikatakan bahwa organisasi tersebut telah mati. 

Banyak sekali contoh perusahaan atau organisasi yang tidak bisa menyesuaikan dengan perubahan lalu tertinggal oleh pesaing-pesaingnya dan akhirnya menghilang. Sebut saja Motorola, salah satu perintis telepon genggam dan mendominasi pasar tersebut sampai dengan tahun 2003. 

Motorola gagal mengalihkan fokus kepada smartphone yang memiliki fitur email dan data lainnya sehingga kalah bersaing dengan pendatang baru seperti Samsung, Apple, LG, dan Research in Motion. Pada akhirnya, Motorola menjual divisi telepon selularnya dan lebih berfokus pada peralatan networking. 

Kodak pun telat dalam beradaptasi dengan perkembangan kamera digital sehingga tertinggal jauh dengan para pesaingnya. Perusahaan yang dulu menguasai pasar kamera dan film di amerika itu kini telah bangkrut, menjual beberapa divisinya dan berhenti membuat kamera digital. Banyak contoh serupa seperti Yahoo, Pan America, Blockbuster, Atari, dan sebagainya.

Memang benar bahwa organisasi publik seperti instansi pemerintah tak mungkin gulung tikar, namun dampak dari kegagalan beradaptasi terhadap perubahan tentu sangat menggangggu kinerja organisasi tersebut yang pada akhirnya akan mengkompromi kepentingan stakeholder. 

Hal ini mungkin bisa ditolerir pada instansi yang tidak memiliki peran krusial dalam ekonomi, namun beda halnya apabila hal ini terjadi pada instansi pengumpul penerimaan negara yang paling utama, yaitu DJP.

Ada beberapa ahli yg memiliki pendapat mengenai apa saja penyebab dari suatu perubahan (Soerjogoeritno; 2004; Robert W. Swaim, 2011; Kasali, 2005.). Namun dari sekian pendapat tersebut, dapat kita ambil dua alasan utama. 

Yang pertama adalah adanya kesenjangan kinerja (performance gap). Organisasi mengalami apa yang disebut dengan performance gap apabila kinerja yang dilakukan selama satu periode tidak sesuai dengan apa yang ditargetkan pada awal periode. 

Ketimpangan kinerja ini menyebabkan ketidakpuasan dengan kondisi saat ini. Semakin besar rasa ketidakpuasan tersebut, akan semakin mendorong untuk melakukan perubahan.

Alasan kedua adalah adanya peluang (identification of opportunities) untuk menjadi lebih baik. Dalam perkembangannya, sebuah organisasi tentu akan menemukan peluang-peluang untuk bisa menjadi lebih baik. 

Sebuah organisasi yang sukses adalah organisasi yang bisa memanfaatkan peluang tersebut dengan maksimal. Untuk dapat meraih peluang tersebut, tidak jarang dibutuhkan perubahan-perubahan pada area-area tertentu. 

Robert Swain (2011) menyebutkan bahwa perubahan dapat terjadi di beberapa area-area utama organisasi meliputi visi dan misi, teknologi, perilaku dan kapasitas pegawai, proses bisnis, struktur organisasi, juga budaya organisasi. Perubahan di satu area cenderung mengakibatkan adanya perubahan di area lainnya.

Latar Belakang Perubahan di DJP
Seperti yang disebutkan sebelumnya, saat ini DJP merupakan instansi pengumpul penerimaan negara yang paling utama, di mana hampir 80% penerimaan negara Indonesia didapatkan dari sektor pajak.

Sangat penting bagi DJP untuk dapat menjalankan fungsinya dengan baik karena apabila tidak, dampak negatif yang ditimbulkan akan terasa di seluruh jajaran pemerintahan hingga mempengaruhi perekonomian negara. 

Untuk itu DJP diharapkan mampu untuk beradaptasi terhadap segala perubahan yang terjadi baik internal maupun eksternal sehingga dapat menjaga kinerjanya dengan maksimal. Agar perubahan-perubahan yang terjadi dapat memberikan manfaat maksimal bagi organisasi, maka perubahan tersebut perlu dikelola dengan baik. 

Sebagai ilustrasi, pertumbuhan ekonomi akan secara langsung menaikkan penerimaan pajak. Namun selisih kenaikan tersebut mungkin tidak akan sama secara proporsional apabila tidak diimbangi dengan identifikasi sektor ekonomi mana yang menguat dan usaha untuk meningkatkan kepatuhan perpajakannya.

DJP sendiri sejak tahun 2002 sedang melakukan perubahan yang terdiri dari beberapa fase. Fase pertama dilaksanakan dari 2002 hingga 2009. Perubahan ini merupakan bagian dari Reformasi Birokrasi dibawah Kementerian Keuangan dan berfokus kepada menciptakan organisasi kinerja dan menghilangkan korupsi. 

Hasil utama yang dicapai dari fase perubahan ini adalah peningkatan penerimaan pajak hingga 16% per tahun. Hasil ini dicapai melalui beberapa perubahan meliputi reorganisasi, modernisasi kantor pajak, pengembangan proses bisnis, SDM, implementasi Balanced Scorecard, dan implementasi skema remunerasi.

Fase kedua dari perubahan di DJP berlangsung dari tahun 2009 hingga 2013 yang berfokus kepada kelanjutan reformasi sebelumnya berupa pengembangan lebih lanjut dari visi dan misi, nilai-nilai, pengukuran kinerja, dan proses bisnis. Hasil yang dicapai dari fase ini adalah peningkatan penerimaan pajak hingga 20% per tahun.

Proses perubahan di DJP pun tak berhenti sampai disini. Mulai tahun 2013, Kemenkeu melakukan sebuah program perubahan yang diberi nama Transformasi Kelembagaan dimana program ini menuntut juga adanya perubahan di DJP. 

Realisasi program Transformasi Kelembagaan di DJP dituangkan ke dalam 16 inisiatif perubahan yang melibatkan hampir seluruh direktorat di DJP dan mempengaruhi hampir setiap area proses bisnis di DJP.

Dari sini bisa kita lihat bahwa perubahan yang sedang dilakukan adalah sebuah perubahan yang besar. Namun apakah yang mendasari inisiatif perubahan tersebut? 

Jika kita menggali lebih dalam mengenai kondisi di DJP, ada 2 alasan utama perubahan di bawah payung transformasi kelembagaan, yaitu adanya kesenjangan kinerja dan potensi, serta adanya target yang dimandatkan oleh Kementerian Keuangan.

Kesenjangan kinerja dan potensi
Apabila kita memperhatikan kinerja DJP beberapa tahun terakhir, target penerimaan pajak selalu tidak tercapai alias shortfall

Target penerimaan didasarkan atas target tahun sebelumnya dengan penambahan variabel persentase pertumbuhan ekonomi dan persentase peningkatan kinerja yang diharapkan. Tax ratio kita di beberapa tahun terakhir adalah sekitar 12-13% termasuk penerimaan bea cukai dan pajak daerah. 

Sementara itu, menurut IMF, apabila sektor pajak memiliki kepatuhan sempurna, dalam arti semua wajib pajak melakukan kewajiban perpajakannya dengan benar dan tepat waktu, maka tax ratio Indonesia adalah sebesar 21%, hampir 2 kali lipat dari rasio saat ini. 

Berdasarkan analisis dari McKinsey, total potensi penerimaan yang belum dapat tergali adalah sebesar 125 hingga 185 trilyun rupiah. Tax gap ini berasal dari PPh Orang Pribadi sebesar 50%, PPh Badan sebesar 20-30%% dan PPN sebesar 20-30%. 

Bisa dilihat bahwa terdapat perbedaan signifikan antara performa pembayar pajak badan dan individu. Analisis lebih lanjut dari McKinsey menunjukkan bahwa tingkat produktivitas SDM DJP saat ini tidak cukup untuk dapat mencapai tax ratio 19%. Lebih lanjut, berdasarkan hasil benchmark, biaya operasional DJP (cost-to-collection) termasuk yang paling rendah.

Aspirasi Kemenkeu
Melalui program Transformasi Kelembagaan, Kemenkeu menargetkan kenaikan tax ratio (OECD) menjadi 19% pada tahun 2019. 

Apabila memperhitungkan tingkat pertumbuhan PDB (10.6%) dan inflasi berdasarkan pertumbuhan riil (5.7%) saat ini, maka diperkirakan DJP harus dapat meningkatkan penerimaan pajak hingga 3 kali lipat dari sekarang. 

Meskipun pertumbuhan ekonomi secara langsung berkontribusi terhadap meningkatnya penerimaan pajak, namun peningkatan tersebut diperkirakan hanya dapat menutupi 66% dari kebutuhan peningkatan penerimaan. Dibutuhkan usaha yang luar biasa agar DJP bisa menutupi kekurangan tersebut.

Waktu yang tepat untuk berubah
Ada beberapa yang mempertanyakan efektifitas dari perubahan yang sudah berlangsung mengingat target penerimaan yang tidak tercapai. Perlu untuk dicermati bahwa perubahan adalah sesuatu yang berkelanjutan. 

Organisasi diharapkan untuk melakukan adaptasi seiring dengan berubahnya lingkungan macro-nya. Perubahan yang dilakukan beberapa tahun silam tidak menjamin kesuksesan di tahun-tahun mendatang apabila kondisi sudah berubah. 

Yang perlu dilakukan adalah melakukan penyesuaian lebih lanjut terhadap perubahan kondisi tersebut sebelum kita tertinggal jauh.

Menurut Charles Handy (1994), setiap organisasi berkembang mengikuti Kurva Sigmoid (gambar 1). Organisasi akan menghadapi masa kelahiran, pertumbuhan, kedewasaan dan akhirnya mencapai masa-masa penurunan. 

Dari Kurva Sigmoid tersebut dapat diperhatikan bahwa sebuah perubahan tidak selalu memperlihatkan hasil dengan segera. Adakalanya kinerja organisasi sedikit menurun terlebih dahulu sebelum kemudian meningkat kembali. 

Hal ini terutama benar untuk organisasi yang besar yang membutuhkan waktu sehingga perubahan dapat mencapai setiap aspek dalam organisasinya dan mendapat dukungan dari para pegawainya.
Kurva Sigmoid
Gambar 1. Kurva Sigmoid dan perubahan organisasi

Banyak penelitian menunjukkan bahwa dalam melakukan perubahan, sebuah organisasi tidak perlu menunggu sampai terjadinya krisis (Kasali, 2005). Justru perubahan terbaik seharusnya dilakukan pada saat-saat organisasi sedang mengalami masa jayanya (gambar 1), karena pada fase ini perusahaan memiliki sumber daya yang paling kuat.

Namun dalam sisi yang lain, kondisi tersebut malah memperkecil dorongan untuk berubah karena organisasi berada dalam zona nyaman. Perubahan yang dilakukan pada masa jaya, cenderung akan menghadapi penolakan perubahan (resistance to change) yang sangat kuat.

Banyak stakeholders yang akan beranggapan bahwa keuntungan yang akan diperoleh tidak sebanding dengan pengorbanan yang dilakukan. Selain itu, beberapa pihak juga akan mempertanyakan terjadinya perubahan, terutama jika inisitaifnya berasal dari manajemen atas (top-down).

Cara yang sangat tepat untuk memitigasi efek dari menurunnya kinerja  dan penolakan perubahan tersebut adalah dengan mempertahankan momentum perubahan sehingga dapat meminimalisir usaha dan waktu yang diperlukan untuk mensosialisasikan inisiatif-inisiatif perubahan yang akan dilakukan kemudian.
Kesimpulan
Mengingat latar belakang dan kondisi DJP saat ini, tidak diragukan lagi bahwa DJP sangat memerlukan sebuah perubahan besar. Perubahan di DJP dilatarbelakangi oleh adanya kebutuhan organisasi untuk memperbaiki kinerja dan untuk mencapai kondisi yang diinginkan.

Kondisi DJP saat ini sangat membutuhkan perbaikan di beberapa area agar bisa mencapai kinerja maksimal. Sementara itu perubahan lebih lanjut juga dibutuhkan untuk mencapai tujuan jangka menengah dan jangka panjang.

Momentum perubahan dari reformasi birokrasi diharapkan bisa membantu kelancaran proses perubahan sekarang ini. Dengan perubahan-perubahan yang dilakukan melalui Transformasi Kelembagaan, diharapkan DJP dapat lebih meningkatkan pelayanan kepada wajib pajak, penegakan hukum, efisiensi, serta kesejahteraan pegawainya.

Sumber: http://www.pajak.go.id/content/article/transformasi-kelembagaan-mewujudkan-djp-sebagai-lembaga-administrasi-perpajakan-yang

No comments:

Post a Comment