Oleh Toto Sugianto, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Mungkin banyak orang berpikir bahwa organisasi sektor publik seperti instansi pemerintah adalah organisasi yang rigid dan
tidak memiliki fleksibilitas, dimana mereka hanya mengerjakan hal-hal
sesuai yang dimandatkan oleh undang-undang tanpa ada permasalahan yang
berarti yang memerlukan sebuah perubahan besar.
Bahkan ada yg
berpendapat instansi pemerintah tidak membutuhkan visi dan misi lagi
karena tujuannya sudah sangat jelas sesuai peraturan. Namun yang tidak
diketahui banyak orang adalah proses mencapai tujuan tersebut.
Instansi
pemerintah bukanlah sebuah organisasi tanpa masalah, dan apabila
dihadapkan dengan suatu masalah, mereka berada dalam posisi lebih
berisiko dibandingkan dengan perusahaan swasta. Hal ini dikarenakan
Instansi pemerintah lebih susah dalam mencari solusi atas pemasalahannya
mengingat keterbatasannya dalam melakukan manuver-manuver organisasi.
Hal ini juga berlaku terhadap Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Tujuan
DJP yaitu mengumpulkan penerimaan negara di sektor pajak bukanlah hal
yang mudah. Banyak kendala yang harus dihadapi di berbagai area mulai
dari core business perpajakannya hingga sistem pendukung
seperti Sumber Daya Manusia (SDM) dan Teknologi Informasi (IT).
Kendala-kendala tersebut dapat menimbulkan potensi tidak tercapainya
target sesuai yang diamanatkan apabila tidak dibarengi dengan adanya
perubahan-perubahan di dalam organisasinya.
Perubahan Organisasi dan Faktor Pendorongnya
Perubahan
adalah sebuah keniscayaan. Perubahan terjadi di lingkungan sekitar
kita, baik yang berada dalam kontrol kita ataupun tidak. Sebuah
organisasi pun akan selalu mengalami dinamika perubahan, baik internal
maupun eksternal.
Menurut Charles Darwin, “Mereka yang berumur
panjang bukanlah spesies yang terkuat namun mereka yang mampu
menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan.” Pernyataan tersebut
bukan hanya berlaku pada makhluk hidup saja, namun berlaku juga bagi
organisasi.
Organisasi selayaknya sebuah organisme, ia lahir, tumbuh,
berkembang, sakit, dan dapat mati seperti makhluk hidup lainnya.
Perubahan lingkungan yang begitu cepat memaksa organisasi untuk dapat
menyesuaikan diri jika ingin berumur panjang dan mampu bertahan hidup.
Organisasi-organisasi
besar yang mau terus bergerak secara inovatif akan selalu mampu
bertahan menyongsong perubahan. Namun sebaliknya, apabila sebuah
organisasi puas dengan apa yang dia miliki dan berhenti melakukan
perubahan, bisa dikatakan bahwa organisasi tersebut telah mati.
Banyak
sekali contoh perusahaan atau organisasi yang tidak bisa menyesuaikan
dengan perubahan lalu tertinggal oleh pesaing-pesaingnya dan akhirnya
menghilang. Sebut saja Motorola, salah satu perintis telepon genggam dan
mendominasi pasar tersebut sampai dengan tahun 2003.
Motorola gagal
mengalihkan fokus kepada smartphone yang memiliki fitur email
dan data lainnya sehingga kalah bersaing dengan pendatang baru seperti
Samsung, Apple, LG, dan Research in Motion. Pada akhirnya, Motorola
menjual divisi telepon selularnya dan lebih berfokus pada peralatan
networking.
Kodak pun telat dalam beradaptasi dengan perkembangan kamera
digital sehingga tertinggal jauh dengan para pesaingnya. Perusahaan
yang dulu menguasai pasar kamera dan film di amerika itu kini telah
bangkrut, menjual beberapa divisinya dan berhenti membuat kamera
digital. Banyak contoh serupa seperti Yahoo, Pan America, Blockbuster,
Atari, dan sebagainya.
Memang benar bahwa organisasi publik
seperti instansi pemerintah tak mungkin gulung tikar, namun dampak dari
kegagalan beradaptasi terhadap perubahan tentu sangat menggangggu
kinerja organisasi tersebut yang pada akhirnya akan mengkompromi
kepentingan stakeholder.
Hal ini mungkin bisa ditolerir pada instansi
yang tidak memiliki peran krusial dalam ekonomi, namun beda halnya
apabila hal ini terjadi pada instansi pengumpul penerimaan negara yang
paling utama, yaitu DJP.
Ada beberapa ahli yg memiliki pendapat
mengenai apa saja penyebab dari suatu perubahan (Soerjogoeritno; 2004;
Robert W. Swaim, 2011; Kasali, 2005.). Namun dari sekian pendapat
tersebut, dapat kita ambil dua alasan utama.
Yang pertama adalah adanya
kesenjangan kinerja (performance gap). Organisasi mengalami apa yang disebut dengan performance gap
apabila kinerja yang dilakukan selama satu periode tidak sesuai dengan
apa yang ditargetkan pada awal periode.
Ketimpangan kinerja ini
menyebabkan ketidakpuasan dengan kondisi saat ini. Semakin besar rasa
ketidakpuasan tersebut, akan semakin mendorong untuk melakukan
perubahan.
Alasan kedua adalah adanya peluang (identification of opportunities)
untuk menjadi lebih baik. Dalam perkembangannya, sebuah organisasi
tentu akan menemukan peluang-peluang untuk bisa menjadi lebih baik.
Sebuah organisasi yang sukses adalah organisasi yang bisa memanfaatkan
peluang tersebut dengan maksimal. Untuk dapat meraih peluang tersebut,
tidak jarang dibutuhkan perubahan-perubahan pada area-area tertentu.
Robert Swain (2011) menyebutkan bahwa perubahan dapat terjadi di
beberapa area-area utama organisasi meliputi visi dan misi, teknologi,
perilaku dan kapasitas pegawai, proses bisnis, struktur organisasi, juga
budaya organisasi. Perubahan di satu area cenderung mengakibatkan
adanya perubahan di area lainnya.
Latar Belakang Perubahan di DJP
Seperti
yang disebutkan sebelumnya, saat ini DJP merupakan instansi pengumpul
penerimaan negara yang paling utama, di mana hampir 80% penerimaan
negara Indonesia didapatkan dari sektor pajak.
Sangat penting bagi DJP
untuk dapat menjalankan fungsinya dengan baik karena apabila tidak,
dampak negatif yang ditimbulkan akan terasa di seluruh jajaran
pemerintahan hingga mempengaruhi perekonomian negara.
Untuk itu DJP
diharapkan mampu untuk beradaptasi terhadap segala perubahan yang
terjadi baik internal maupun eksternal sehingga dapat menjaga kinerjanya
dengan maksimal. Agar perubahan-perubahan yang terjadi dapat memberikan
manfaat maksimal bagi organisasi, maka perubahan tersebut perlu
dikelola dengan baik.
Sebagai ilustrasi, pertumbuhan ekonomi akan secara
langsung menaikkan penerimaan pajak. Namun selisih kenaikan tersebut
mungkin tidak akan sama secara proporsional apabila tidak diimbangi
dengan identifikasi sektor ekonomi mana yang menguat dan usaha untuk
meningkatkan kepatuhan perpajakannya.
DJP sendiri sejak tahun 2002
sedang melakukan perubahan yang terdiri dari beberapa fase. Fase
pertama dilaksanakan dari 2002 hingga 2009. Perubahan ini merupakan
bagian dari Reformasi Birokrasi dibawah Kementerian Keuangan dan
berfokus kepada menciptakan organisasi kinerja dan menghilangkan
korupsi.
Hasil utama yang dicapai dari fase perubahan ini adalah
peningkatan penerimaan pajak hingga 16% per tahun. Hasil ini dicapai
melalui beberapa perubahan meliputi reorganisasi, modernisasi kantor
pajak, pengembangan proses bisnis, SDM, implementasi Balanced Scorecard,
dan implementasi skema remunerasi.
Fase kedua dari perubahan di
DJP berlangsung dari tahun 2009 hingga 2013 yang berfokus kepada
kelanjutan reformasi sebelumnya berupa pengembangan lebih lanjut dari
visi dan misi, nilai-nilai, pengukuran kinerja, dan proses bisnis. Hasil
yang dicapai dari fase ini adalah peningkatan penerimaan pajak hingga
20% per tahun.
Proses perubahan di DJP pun tak berhenti sampai
disini. Mulai tahun 2013, Kemenkeu melakukan sebuah program perubahan
yang diberi nama Transformasi Kelembagaan dimana program ini menuntut
juga adanya perubahan di DJP.
Realisasi program Transformasi Kelembagaan
di DJP dituangkan ke dalam 16 inisiatif perubahan yang melibatkan
hampir seluruh direktorat di DJP dan mempengaruhi hampir setiap area
proses bisnis di DJP.
Dari sini bisa kita lihat bahwa perubahan
yang sedang dilakukan adalah sebuah perubahan yang besar. Namun apakah
yang mendasari inisiatif perubahan tersebut?
Jika kita menggali lebih
dalam mengenai kondisi di DJP, ada 2 alasan utama perubahan di bawah
payung transformasi kelembagaan, yaitu adanya kesenjangan kinerja dan
potensi, serta adanya target yang dimandatkan oleh Kementerian Keuangan.
Kesenjangan kinerja dan potensi
Apabila kita memperhatikan kinerja DJP beberapa tahun terakhir, target penerimaan pajak selalu tidak tercapai alias shortfall.
Target penerimaan didasarkan atas target tahun sebelumnya dengan
penambahan variabel persentase pertumbuhan ekonomi dan persentase
peningkatan kinerja yang diharapkan. Tax ratio kita di beberapa tahun
terakhir adalah sekitar 12-13% termasuk penerimaan bea cukai dan pajak
daerah.
Sementara itu, menurut IMF, apabila sektor pajak memiliki
kepatuhan sempurna, dalam arti semua wajib pajak melakukan kewajiban
perpajakannya dengan benar dan tepat waktu, maka tax ratio Indonesia
adalah sebesar 21%, hampir 2 kali lipat dari rasio saat ini.
Berdasarkan
analisis dari McKinsey, total potensi penerimaan yang belum dapat
tergali adalah sebesar 125 hingga 185 trilyun rupiah. Tax gap
ini berasal dari PPh Orang Pribadi sebesar 50%, PPh Badan sebesar
20-30%% dan PPN sebesar 20-30%.
Bisa dilihat bahwa terdapat perbedaan
signifikan antara performa pembayar pajak badan dan individu. Analisis
lebih lanjut dari McKinsey menunjukkan bahwa tingkat produktivitas SDM
DJP saat ini tidak cukup untuk dapat mencapai tax ratio 19%. Lebih
lanjut, berdasarkan hasil benchmark, biaya operasional DJP (cost-to-collection) termasuk yang paling rendah.
Aspirasi Kemenkeu
Melalui
program Transformasi Kelembagaan, Kemenkeu menargetkan kenaikan tax
ratio (OECD) menjadi 19% pada tahun 2019.
Apabila memperhitungkan
tingkat pertumbuhan PDB (10.6%) dan inflasi berdasarkan pertumbuhan riil
(5.7%) saat ini, maka diperkirakan DJP harus dapat meningkatkan
penerimaan pajak hingga 3 kali lipat dari sekarang.
Meskipun pertumbuhan
ekonomi secara langsung berkontribusi terhadap meningkatnya penerimaan
pajak, namun peningkatan tersebut diperkirakan hanya dapat menutupi 66%
dari kebutuhan peningkatan penerimaan. Dibutuhkan usaha yang luar biasa
agar DJP bisa menutupi kekurangan tersebut.
Waktu yang tepat untuk berubah
Ada
beberapa yang mempertanyakan efektifitas dari perubahan yang sudah
berlangsung mengingat target penerimaan yang tidak tercapai. Perlu untuk
dicermati bahwa perubahan adalah sesuatu yang berkelanjutan.
Organisasi
diharapkan untuk melakukan adaptasi seiring dengan berubahnya
lingkungan macro-nya. Perubahan yang dilakukan beberapa tahun
silam tidak menjamin kesuksesan di tahun-tahun mendatang apabila kondisi
sudah berubah.
Yang perlu dilakukan adalah melakukan penyesuaian lebih
lanjut terhadap perubahan kondisi tersebut sebelum kita tertinggal jauh.
Menurut
Charles Handy (1994), setiap organisasi berkembang mengikuti Kurva
Sigmoid (gambar 1). Organisasi akan menghadapi masa kelahiran,
pertumbuhan, kedewasaan dan akhirnya mencapai masa-masa penurunan.
Dari
Kurva Sigmoid tersebut dapat diperhatikan bahwa sebuah perubahan tidak
selalu memperlihatkan hasil dengan segera. Adakalanya kinerja organisasi
sedikit menurun terlebih dahulu sebelum kemudian meningkat kembali.
Hal
ini terutama benar untuk organisasi yang besar yang membutuhkan waktu
sehingga perubahan dapat mencapai setiap aspek dalam organisasinya dan
mendapat dukungan dari para pegawainya.

Gambar 1. Kurva Sigmoid dan perubahan organisasi
Banyak
penelitian menunjukkan bahwa dalam melakukan perubahan, sebuah
organisasi tidak perlu menunggu sampai terjadinya krisis (Kasali, 2005).
Justru perubahan terbaik seharusnya dilakukan pada saat-saat organisasi
sedang mengalami masa jayanya (gambar 1), karena pada fase ini
perusahaan memiliki sumber daya yang paling kuat.
Namun dalam sisi yang lain, kondisi tersebut malah memperkecil dorongan untuk berubah karena organisasi berada dalam zona nyaman. Perubahan yang dilakukan pada masa jaya, cenderung akan menghadapi penolakan perubahan (resistance to change) yang sangat kuat.
Banyak stakeholders yang akan beranggapan bahwa keuntungan yang akan diperoleh tidak sebanding dengan pengorbanan yang dilakukan. Selain itu, beberapa pihak juga akan mempertanyakan terjadinya perubahan, terutama jika inisitaifnya berasal dari manajemen atas (top-down).
Cara yang sangat tepat untuk memitigasi efek dari menurunnya kinerja dan penolakan perubahan tersebut adalah dengan mempertahankan momentum perubahan sehingga dapat meminimalisir usaha dan waktu yang diperlukan untuk mensosialisasikan inisiatif-inisiatif perubahan yang akan dilakukan kemudian.
Namun dalam sisi yang lain, kondisi tersebut malah memperkecil dorongan untuk berubah karena organisasi berada dalam zona nyaman. Perubahan yang dilakukan pada masa jaya, cenderung akan menghadapi penolakan perubahan (resistance to change) yang sangat kuat.
Banyak stakeholders yang akan beranggapan bahwa keuntungan yang akan diperoleh tidak sebanding dengan pengorbanan yang dilakukan. Selain itu, beberapa pihak juga akan mempertanyakan terjadinya perubahan, terutama jika inisitaifnya berasal dari manajemen atas (top-down).
Cara yang sangat tepat untuk memitigasi efek dari menurunnya kinerja dan penolakan perubahan tersebut adalah dengan mempertahankan momentum perubahan sehingga dapat meminimalisir usaha dan waktu yang diperlukan untuk mensosialisasikan inisiatif-inisiatif perubahan yang akan dilakukan kemudian.
Kesimpulan
Mengingat
latar belakang dan kondisi DJP saat ini, tidak diragukan lagi bahwa DJP
sangat memerlukan sebuah perubahan besar. Perubahan di DJP
dilatarbelakangi oleh adanya kebutuhan organisasi untuk memperbaiki
kinerja dan untuk mencapai kondisi yang diinginkan.
Kondisi DJP saat ini sangat membutuhkan perbaikan di beberapa area agar bisa mencapai kinerja maksimal. Sementara itu perubahan lebih lanjut juga dibutuhkan untuk mencapai tujuan jangka menengah dan jangka panjang.
Momentum perubahan dari reformasi birokrasi diharapkan bisa membantu kelancaran proses perubahan sekarang ini. Dengan perubahan-perubahan yang dilakukan melalui Transformasi Kelembagaan, diharapkan DJP dapat lebih meningkatkan pelayanan kepada wajib pajak, penegakan hukum, efisiensi, serta kesejahteraan pegawainya.
Sumber: http://www.pajak.go.id/content/article/transformasi-kelembagaan-mewujudkan-djp-sebagai-lembaga-administrasi-perpajakan-yang
Kondisi DJP saat ini sangat membutuhkan perbaikan di beberapa area agar bisa mencapai kinerja maksimal. Sementara itu perubahan lebih lanjut juga dibutuhkan untuk mencapai tujuan jangka menengah dan jangka panjang.
Momentum perubahan dari reformasi birokrasi diharapkan bisa membantu kelancaran proses perubahan sekarang ini. Dengan perubahan-perubahan yang dilakukan melalui Transformasi Kelembagaan, diharapkan DJP dapat lebih meningkatkan pelayanan kepada wajib pajak, penegakan hukum, efisiensi, serta kesejahteraan pegawainya.
Sumber: http://www.pajak.go.id/content/article/transformasi-kelembagaan-mewujudkan-djp-sebagai-lembaga-administrasi-perpajakan-yang
No comments:
Post a Comment