Oleh Toto Sugianto, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Direktorat Jenderal Pajak telah melakukan serangkaian perubahan demi memperbaiki kinerjanya dimulai dari perubahan mendasar (fundamental change)
dalam Reformasi Birokrasi yang dirintis sejak tahun 2002.
Perubahan ini
pun kemudian diikuti oleh beberapa inisiatif perubahan berikutnya yang
berskala yang lebih kecil di bawah payung program Transformasi
Kelembagaan yang direncanakan berjalan hingga tahun 2025.
Dari sini
timbul beberapa pertanyaan: Apakah rencana selanjutnya setelah program
Transformasi Kelembagaan selesai? Apakah nanti akan ada perubahan lebih
lanjut? Bentuk ideal seperti apakah yang diinginkan oleh DJP sehingga
tidak akan ada lagi perubahan organisasi? Jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan tersebut akan diulas pada artikel ini.
Seperti yang kita semua sadari, perubahan lingkungan akan selalu ada
dan setiap organisasi diharapkan mampu beradaptasi terhadap perubahan
tersebut. Perubahan organisasi yang terjadi di DJP selama ini lebih
banyak berupa remedial change, yaitu perubahan yang dilakukan
sebagai solusi terhadap suatu permasalahan yang dihadapi, misalnya untuk
memperbaiki kinerja yg buruk, mencegah defisit anggaran, mengatasi
inefisiensi, dan sebagainya.
Perubahan ini umumnya dilakukan sebagai
reaksi atas perubahan yang terjadi di lingkungannya. Ketika sebuah
organisasi sudah semakin mapan, perubahan yang dihadapi lebih kepada developmental change,
yaitu perubahan yang dilakukan dalam rangka meningkatkan kesuksesan.
Perubahan lingkungan yang terjadi pada kondisi ini bukan lagi sebuah
perubahan besar yang transformasional, melainkan perubahan-perubahan
kecil yang bervariasi, kontinyu, cepat dan kadang tumpang tindih satu
sama lain (Frahm & Brown, 2007).
Perubahan organisasi yang baik adalah perubahan yang tidak hanya
sukses dalam menghadapi tantangan di satu periode, tapi juga dapat
mengantisipasi tantangan berikutnya. Hal ini sangat penting karena
sebuah perubahan organisasi menuntut sumber daya yang tidak sedikit,
terutama apabila dilaksanakan secara reaksioner.
Agar organisasi dapat
beradaptasi dengan baik terhadap setiap perubahan tersebut, dibutuhkan
suatu budaya perubahan yang berkelanjutan (continuous change).
Continuous change sudah mulai memasyarakat di dunia bisnis sebagai pengembangan dari konsep continuous improvement (pengembangan berkelanjutan).
Continuous improvement berfokus pada pengembangan proses dan prosedur rutin operasional untuk meningkatkan kinerja, sementara itu continuous change
lebih berfokus kepada menciptakan budaya dan perilaku organisasi yang
adaptif terhadap perubahan.
Fokus organisasi lebih diarahkan kepada
peningkatan kesadaran akan inovasi, leadership, serta menantang status
quo dalam rangka meningkatkan laju pertumbuhan. Lawrence (2006) menyebutkan bahwa untuk dapat mengelola continuous change,
ada beberapa kondisi yang harus dipenuhi yaitu adanya inisiatif
perubahan, kewenangan untuk melakukan perubahan, sistem pengelolaan
perubahan secara rutin, serta budaya perubahan.
Inisiatif Perubahan
Dalam instansi pemerintahan, umumnya inisiatif perubahan dilakukan melalui mekanisme top-down
namun tak jarang juga inisiatif berasal dari bawah.
Hal ini tergambar
dengan baik pada saat proses desain program Transformasi Kelembagaan di
mana penyusunan tema transformasi berasal dari manajemen tingkat atas (top-down) sementara penyusunan masing-masing inisiatif berasal dari mini lab yang diikuti oleh para leader di lapangan (bottom-up).
Keller (2011) menyebutkan bahwa untuk menampung inisiatif perubahan secara bottom-up,
perlu dikembangkan sebuah proses identifikasi dan pemanfaatan
kesempatan untuk pengembangan sehingga mendorong pegawai di level
manapun untuk dapat melakukan inisiatif perubahan.
Apabila seorang
pegawai mengidentifikasi adanya sebuah masalah dalam aktivitas
operasional, pegawai dapat menaikan isu tersebut ke tingkat yang lebih
tinggi untuk dapat dianalisis lebih lanjut. Untuk hal ini perlu
dibuatkan sebuah mekanisme tersendiri terlepas dari birokrasi struktural
yang kaku.
Kewenangan untuk melakukan perubahan
Terkadang inisiatif perubahan yang sangat bagus tidak dapat
diimplementasikan karena kurangnya sumber daya atau dukungan baik dari
manajemen yang lebih tinggi atau bahkan pegawai di tingkat bawah.
Untuk
dapat mengubah ide perubahan menjadi tindakan nyata, dibutuhkan suatu leadership dan kewenangan yang besar dari para team leader
perubahan. Terkait perubahan di DJP, implementasi perubahan kerap
terhambat birokrasi dengan pihak di luar DJP seperti Kementerian
Keuangan dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara.
Namun dalam
salah satu inisiatif program Transformasi Kelembagaan, yaitu Initiative Secure Flexibilities Needed for The Transformation,
DJP sedang mengusahakan untuk mendapatkan 3 kewenangan yaitu di area
organisasi, keuangan, dan sumber daya manusia (SDM) untuk dapat menjamin
kelancaran proses perubahan di masa depan.
Sistem pengelolaan perubahan secara rutin
Yang perlu menjadi fokus adalah adanya sebuah sistem pengelolaan
perubahan yang dapat menfasilitasi perilaku kolektif dan meminimalisir
efek negatif.
Sistem yang memungkinkan inisiatif perubahan dapat
diimplementasikan secara cepat dan efisien serta terkomunikasikan dengan
baik ke seluruh aspek organisasi. Dengan adanya sistem ini,
perubahan-perubahan yang dilakukan tidak lagi menjadi sesuatu yang asing
di tengah rutinitas pekerjaan utama.
DJP sendiri telah memiliki sebuah Project Management Office
(PMO) yang bertugas mengawasi dan membantu pengelolaan perubahan secara
rutin dan memiliki komposisi pegawai tetap secara struktural.
Fungsi PMO
ini akan dikembangkan lebih lanjut dengan pembentukan Direktorat
Manajemen Strategis seperti yang terdapat dalam salah satu inisiatif
dalam program Transformasi Kelembagaan, Initiative Restructure the Organization.
Dalam inisiatif tersebut diusulkan adanya penyatuan fungsi penyusunan
rencana strategis, pengukuran kinerja, serta pengelolaan proyek dalam
satu unit eselon 2 yaitu Direktorat Manajemen Strategis yang bertugas
mengawasi semua aktivitas strategis mulai dari tahap perencanaan hingga
implementasinya.
Dalam kesehariannya, Direktorat ini akan berkoordinasi
dengan unit terkait dalam melakukan alignment antara aktivitas
rutin serta inisiatif perubahan dengan rencana strategis DJP.
Pembentukan Direktorat ini diharapkan dapat membuat manajemen strategis
menjadi salah satu core competencies di DJP.
Selain itu, DJP juga sudah memiliki Kebijakan Pengelolaan Proyek
Teknologi Informasi dan Komunikasi sebagai panduan pengelolaan proyek
terkait teknologi informasi dan komunikasi, serta Business Prosess Project Operation Manual
(BPPOM) untuk digunakan sebagai panduan pengelolaan proyek lainnya.
Dengan adanya buku panduan ini proyek-proyek yang baru dapat segera
dijalankan sesuai dengan standar yang sama dengan proyek sebelumnya.
Budaya Perubahan
Element terakhir adalah dengan membudayakan perubahan ke dalam
kegiatan sehari-hari. Meskipun dalam upaya perubahan tradisional sering
terdapat komponen budaya organisasi, namun penekanannya biasanya lebih
kepada nilai-nilai baru terkait tujuan perubahan itu sendiri.
Sedangkan
budaya yang dimaksud dalam perubahan berkelanjutan berfokus kepada
adanya keahlian dan motivasi bukan hanya dalam mengadopsi perubahan,
tapi juga mengembangkannya. Tujuannya adalah untuk mendorong pola pikir
inovatif dan strategis sehingga mendorong munculnya ide-ide baru serta
meminimalisir penolakan terhadap perubahan di masa depan.
Proses
penciptaan budaya perubahan ini dapat dilakukan antara lain dengan
menarik dukungan dari berbagai pihak, menyusun mekanisme identifikasi
inisiatif dari bawah serta budaya pembelajaran yang
berkelanjutan (Keller, 2011; Goman, 2011).
Dari uraian di atas bisa kita simpulkan bahwa DJP akan terus mengalami perubahan namun sifatnya lebih incremental. Bentuk
yang ideal bagi sebuah organisasi, termasuk DJP, adalah organisasi yang
bisa beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan lingkungan.
Untuk hal
ini, DJP sudah melakukan beberapa persiapan untuk menghadapi perubahan
lingkungan di masa depan dengan pendekatan continuous change dalam
program Transformasi Kelembagaan. Namun masih banyak pekerjaan rumah
yang harus dilakukan oleh DJP dalam rangka pengelolaan perubahan yang
berkesinambungan ini.
Yang perlu kita sadari adalah bahwa tugas ini
bukanlah hanya kewajiban dari para petinggi-petinggi DJP di kantor
pusat, namun juga tanggung jawab seluruh pegawai DJP sebagai stakeholder
utama. Mari kita kawal bersama.
Referensi:
- Keller, S., & Price, C., (2011) Beyond Performance: How Great Organizations Build Ultimate Competitive Advantage, John Wiley & Son, Inc., New Jersey.
- Frahm, J., & Brown, K., (2007) First steps: linking change communication to change receptivity, Journal of Organizational Change Management, Vol. 20 No. 3, pp. 370-387
- Goman, C.K., (2011) Managing Continuous Change, [Sumber online] Diambil dari: http://www.asme.org/career-education/articles/management-professional-pr..., [Diakses pada 18 July 2014].
- Lawrence, T.B., et. al., (2006) The Underlying Structure of Continuous Change, [Sumber online] Diambil dari: http://sloanreview.mit.edu/article/the-underlying-structure-of-continuou..., [Diakses pada 18 July 2014].
No comments:
Post a Comment