Wednesday, August 20, 2014

Mengubah Lembaga dan Melembagakan Perubahan



Oleh Toto Sugianto, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Direktorat Jenderal Pajak telah melakukan serangkaian perubahan demi memperbaiki kinerjanya dimulai dari perubahan mendasar (fundamental change) dalam Reformasi Birokrasi yang dirintis sejak tahun 2002. 

Perubahan ini pun kemudian diikuti oleh beberapa inisiatif perubahan berikutnya yang berskala yang lebih kecil di bawah payung program Transformasi Kelembagaan yang direncanakan berjalan hingga tahun 2025. 

Dari sini timbul beberapa pertanyaan: Apakah rencana selanjutnya setelah program Transformasi Kelembagaan selesai? Apakah nanti akan ada perubahan lebih lanjut? Bentuk ideal seperti apakah yang diinginkan oleh DJP sehingga tidak akan ada lagi perubahan organisasi? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut akan diulas pada artikel ini.

Seperti yang kita semua sadari, perubahan lingkungan akan selalu ada dan setiap organisasi diharapkan mampu beradaptasi terhadap perubahan tersebut. Perubahan organisasi yang terjadi di DJP selama ini lebih banyak berupa remedial change, yaitu perubahan yang dilakukan sebagai solusi terhadap suatu permasalahan yang dihadapi, misalnya untuk memperbaiki kinerja yg buruk, mencegah defisit anggaran, mengatasi inefisiensi, dan sebagainya. 

Perubahan ini umumnya dilakukan sebagai reaksi atas perubahan yang terjadi di lingkungannya. Ketika sebuah organisasi sudah semakin mapan, perubahan yang dihadapi lebih kepada developmental change, yaitu perubahan yang dilakukan dalam rangka meningkatkan kesuksesan. 

Perubahan lingkungan yang terjadi pada kondisi ini bukan lagi sebuah perubahan besar yang transformasional, melainkan perubahan-perubahan kecil yang bervariasi, kontinyu, cepat dan kadang tumpang tindih satu sama lain (Frahm & Brown, 2007).

Perubahan organisasi yang baik adalah perubahan yang tidak hanya sukses dalam menghadapi tantangan di satu periode, tapi juga dapat mengantisipasi tantangan berikutnya. Hal ini sangat penting karena sebuah perubahan organisasi menuntut sumber daya yang tidak sedikit, terutama apabila dilaksanakan secara reaksioner. 

Agar organisasi dapat beradaptasi dengan baik terhadap setiap perubahan tersebut, dibutuhkan suatu budaya perubahan yang berkelanjutan (continuous change).

Continuous change sudah mulai memasyarakat di dunia bisnis sebagai pengembangan dari konsep continuous improvement (pengembangan berkelanjutan).  

Continuous improvement berfokus pada pengembangan proses dan prosedur rutin operasional untuk meningkatkan kinerja, sementara itu continuous change lebih berfokus kepada menciptakan budaya dan perilaku organisasi yang adaptif terhadap perubahan. 

Fokus organisasi lebih diarahkan kepada peningkatan kesadaran akan inovasi, leadership, serta menantang status quo dalam rangka meningkatkan laju pertumbuhan. Lawrence (2006) menyebutkan bahwa untuk dapat mengelola continuous change, ada beberapa kondisi yang harus dipenuhi yaitu adanya inisiatif perubahan, kewenangan untuk melakukan perubahan, sistem pengelolaan perubahan secara rutin, serta budaya perubahan.

Inisiatif Perubahan
Dalam instansi pemerintahan, umumnya inisiatif perubahan dilakukan melalui mekanisme top-down namun tak jarang juga inisiatif berasal dari bawah. 

Hal ini tergambar dengan baik pada saat proses desain program Transformasi Kelembagaan di mana penyusunan tema transformasi berasal dari manajemen tingkat atas (top-down) sementara penyusunan masing-masing inisiatif berasal dari mini lab yang diikuti oleh para leader di lapangan (bottom-up). 

Keller (2011) menyebutkan bahwa untuk menampung inisiatif perubahan secara bottom-up, perlu dikembangkan sebuah proses identifikasi dan pemanfaatan kesempatan untuk pengembangan sehingga mendorong  pegawai di level manapun untuk dapat melakukan inisiatif perubahan. 

Apabila seorang pegawai mengidentifikasi adanya sebuah masalah dalam aktivitas operasional, pegawai dapat menaikan isu tersebut ke tingkat yang lebih tinggi untuk dapat dianalisis lebih lanjut. Untuk hal ini perlu dibuatkan sebuah mekanisme tersendiri terlepas dari birokrasi struktural yang kaku.

Kewenangan untuk melakukan perubahan
Terkadang inisiatif perubahan yang sangat bagus tidak dapat diimplementasikan karena kurangnya sumber daya atau dukungan baik dari manajemen yang lebih tinggi atau bahkan pegawai di tingkat bawah. 

Untuk dapat mengubah ide perubahan menjadi tindakan nyata, dibutuhkan suatu leadership dan kewenangan yang besar dari para team leader perubahan.  Terkait perubahan di DJP, implementasi perubahan kerap terhambat birokrasi dengan pihak di luar DJP seperti Kementerian Keuangan dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara. 

Namun dalam salah satu inisiatif program Transformasi Kelembagaan, yaitu Initiative Secure Flexibilities Needed for The Transformation, DJP sedang mengusahakan untuk mendapatkan 3 kewenangan yaitu di area organisasi, keuangan, dan sumber daya manusia (SDM) untuk dapat menjamin kelancaran proses perubahan di masa depan.

Sistem pengelolaan perubahan secara rutin
Yang perlu menjadi fokus adalah adanya sebuah sistem pengelolaan perubahan yang dapat menfasilitasi perilaku kolektif dan meminimalisir efek negatif. 

Sistem yang memungkinkan inisiatif perubahan dapat diimplementasikan secara cepat dan efisien serta terkomunikasikan dengan baik ke seluruh aspek organisasi. Dengan adanya sistem ini, perubahan-perubahan yang dilakukan tidak lagi menjadi sesuatu yang asing di tengah rutinitas pekerjaan utama.

DJP sendiri telah memiliki sebuah Project Management Office (PMO) yang bertugas mengawasi dan membantu pengelolaan perubahan secara rutin dan memiliki komposisi pegawai tetap secara struktural. 

Fungsi PMO ini akan dikembangkan lebih lanjut dengan pembentukan Direktorat Manajemen Strategis seperti yang terdapat dalam salah satu inisiatif dalam program Transformasi Kelembagaan, Initiative Restructure the Organization

Dalam inisiatif tersebut diusulkan adanya penyatuan fungsi penyusunan rencana strategis, pengukuran kinerja, serta pengelolaan proyek dalam satu unit eselon 2 yaitu Direktorat Manajemen Strategis yang bertugas mengawasi semua aktivitas strategis mulai dari tahap perencanaan hingga implementasinya. 

Dalam kesehariannya, Direktorat ini akan berkoordinasi dengan unit terkait dalam melakukan alignment antara aktivitas rutin serta inisiatif perubahan dengan rencana strategis DJP. Pembentukan Direktorat ini diharapkan dapat membuat manajemen strategis menjadi salah satu core competencies di DJP.

Selain itu, DJP juga sudah memiliki Kebijakan Pengelolaan Proyek Teknologi Informasi dan Komunikasi sebagai panduan pengelolaan proyek terkait teknologi informasi dan komunikasi, serta Business Prosess Project Operation Manual (BPPOM) untuk digunakan sebagai panduan pengelolaan proyek lainnya. 

Dengan adanya buku panduan ini proyek-proyek yang baru dapat segera dijalankan sesuai dengan standar yang sama dengan proyek sebelumnya.  

Budaya Perubahan
Element terakhir adalah dengan membudayakan perubahan ke dalam kegiatan sehari-hari. Meskipun dalam upaya perubahan tradisional sering terdapat komponen budaya organisasi, namun penekanannya biasanya lebih kepada nilai-nilai baru terkait tujuan perubahan itu sendiri. 

Sedangkan budaya yang dimaksud dalam perubahan berkelanjutan berfokus kepada adanya keahlian dan motivasi bukan hanya dalam mengadopsi perubahan, tapi juga mengembangkannya. Tujuannya adalah untuk mendorong pola pikir inovatif dan strategis sehingga mendorong munculnya ide-ide baru serta meminimalisir penolakan terhadap perubahan di masa depan. 

Proses penciptaan budaya perubahan ini dapat dilakukan antara lain dengan menarik dukungan dari berbagai pihak, menyusun mekanisme identifikasi inisiatif dari bawah serta budaya pembelajaran yang berkelanjutan (Keller, 2011; Goman, 2011).

Dari uraian di atas bisa kita simpulkan bahwa DJP akan terus mengalami perubahan namun sifatnya lebih incremental. Bentuk yang ideal bagi sebuah organisasi, termasuk DJP, adalah organisasi yang bisa beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan lingkungan. 

Untuk hal ini, DJP sudah melakukan beberapa persiapan untuk menghadapi perubahan lingkungan di masa depan dengan pendekatan continuous change dalam program Transformasi Kelembagaan. Namun masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan oleh DJP dalam rangka pengelolaan perubahan yang berkesinambungan ini. 

Yang perlu kita sadari adalah bahwa tugas ini bukanlah hanya kewajiban dari para petinggi-petinggi DJP di kantor pusat, namun juga tanggung jawab seluruh pegawai DJP sebagai stakeholder utama. Mari kita kawal bersama.


Referensi:
  1. Keller, S., & Price, C.,  (2011) Beyond Performance: How Great Organizations Build Ultimate Competitive Advantage, John Wiley & Son, Inc., New Jersey.
  2. Frahm, J., & Brown, K., (2007) First steps: linking change communication to change receptivity, Journal of Organizational Change Management, Vol. 20 No.  3, pp. 370-387
  3. Goman, C.K., (2011) Managing Continuous Change, [Sumber online] Diambil dari: http://www.asme.org/career-education/articles/management-professional-pr..., [Diakses pada 18 July 2014].
  4. Lawrence, T.B., et. al., (2006) The Underlying Structure of Continuous Change, [Sumber online] Diambil dari: http://sloanreview.mit.edu/article/the-underlying-structure-of-continuou..., [Diakses pada 18 July 2014].

No comments:

Post a Comment