Friday, August 22, 2014

Kebijakan BBM Yang Berkeadilan Melalui Pajak


Oleh Aidin Fathur Rahman, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Nilai belanja dalam RAPBN 2014 diperkirakan bakal naik dari awalnya di Nota Keuangan Rp 1.816,7 triliun, menjadi Rp 1.849,8 triliun. Kenaikan Rp 33 triliun ini karena subsidi energi yang meningkat. 

Belanja subsidi energi di RAPBN 2014 melonjak Rp 44,1 triliun, dari Rp 284,7 triliun menjadi Rp 328,7 triliun. Angka tersebut terbagi 2 yakni untuk subsidi BBM Rp 35,9 triliun dan subsidi listrik Rp 8,2 triliun (data Kementerian Keuangan). Pada 2014 ini, pemerintah mengalokasikan BBM subsidi bagi masyarakat sebesar 48 juta kiloliter.

Meski kuota ini tak berbeda dari tahun sebelumnya, pemerintah terpaksa tetap merogoh kocek lebih dalam akibat terus menguatnya dolar Amerika Serikat sehingga melemahkan nilai tukar rupiah. Dengan melihat angka subsidi energi yang masih tetap besar sebagaimana tahun-tahun sebelumnya tersebut, tentu hal ini akan berpengaruh terhadap anggaran pemerintah untuk perbaikan infrastruktur dan fasilitas-fasilitas lainnya untuk kesejahteraan masyarakat. 

Dengan anggaran belanja yang semakin besar, tentu penerimaan negara terutama dari sektor pajak juga dinaikkan targetnya yang mana pada tahun 2014, dipatok pada angka Rp. 1.110,2 Triliun.

Meskipun Dirjen Pajak mengusulkan untuk menurunkan target tersebut sebesar menjadi sekitar Rp. 1.034 Triliun setelah setelah menimbang perkiraan melesetnya hampir seluruh asumsi makro APBN 2014. Peran penerimaan pajak ini adalah sebesar 66,6% dari total proyeksi pendapatan negara tahun 2014 yaitu sebesar Rp. 1.667.1 triliun. 

Sebagaimana ditenggarai banyak pihak terutama para ekonom, bahwa subsidi atas BBM lebih banyak dinikmati oleh masyarakat berpendapatan tinggi dan menengah karena kepemilikan mereka atas kendaraan roda empat atau lebih yang tentunya berpengaruh terhadap nilai subsidi yang mereka nikmati atas BBM.

Sepanjang satu dekade terakhir, penjualan mobil rata-rata tumbuh 12 persen per tahun. Bahkan, pada 2012, penjualan mobil Indonesia melonjak 25 persen menjadi hampir 1,2 juta unit. Ke depan, diperkirakan penjualan mobil di negeri ini akan terus meningkat, bahkan Indonesia diperkirakan masih akan menjadi salah satu negara dengan pertumbuhan penjualan mobil tertinggi. Dengan pertumbuhan penjualan mobil tersebut, penetrasi kepemilikan kendaraan bermotor di Indonesia juga akan semakin meningkat.

Suatu penelitian memperkirakan sepanjang periode 2012-2018, kepemilikan mobil diproyeksikan tumbuh rata-rata 7 persen per tahun. Kepemilikan mobil dari 45 per 1000 orang saat ini akan naik menjadi 60 per 1000 orang hingga 2018. 

Data tersebut menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan daya beli masyarakat atau adanya peningkatan/penambahan penghasilan. Pada sisi lain, penambahan kendaraan bermotor akan mengharuskan pemerintah menambah kuota atas subsidi BBM atau menambah belanja subsidi BBM. 

Pertumbuhan ekonomi berefek pada meningkatkan kebutuhan akan energi yang berimplikasi pada membengkaknya subsidi energi yang akan menguras anggaran Negara untuk membangun infrastruktur yang sangat lebih penting untuk menjaga kelangsungan pertumbuhan ekonomi yang diharapkan.

Penambahan subsidi atas BBM juga telah menyebabkan meningkatnya kesenjangan pendapatan yang lebar antara si kaya dan si miskin. Bank Indonesia menyatakan angka tingkat kesenjangan ekonomi (gini rasio) pada 2013 lebih tinggi dibandingkan di 2012 sebesar 0,41 persen. 

Oleh karena itu diperlukan suatu kebijakan sebagai penyeimbang yaitu penerimaan negara terutama penerimaan dari sektor pajak harus ditingkatkan, baik itu Pajak Penghasilan Orang Pribadi maupun PPh Badan atau korporasi.

Pertanyaannya adalah apakah orang-orang yang mempunyai kendaraan tersebut sudah ber-NPWP (menjadi Wajib Pajak) dan membayar Pajak Penghasilan (PPh) dan juga telah melaporkan SPT (Surat Pemberitahuan) Tahunannya. 

Ada tiga kategori dari golongan “penikmat subsidi BBM” tersebut. Pertama, mereka yang sudah ber-NPWP, sudah membayar PPh Orang Pribadi atau telah dipotong PPh-nya oleh pemberi kerja dan melaporkan SPT-nya. Kedua, mereka yang sudah ber-NPWP, telah membayar atau dipotong PPh-nya tetapi tidak melaporkan SPT-nya. Ketiga adalah mereka yang belum ber-NPWP yang tentu saja tidak membayar PPh dan tidak juga melaporkan SPT.

Atas golongan pertama tentu secara etika moral ataupun ekonomi layak untuk menikmati subsidi BBM yang diberikan negara atas kepatuhannya terhadap perpajakan. Untuk golongan kedua perlu diberikan penjelasan bahwa pelaporan atas SPT adalah “wajib” hukumnya karena SPT tersebut sangat penting bagi sistem administrasi perpajakan. Untuk yang golongan ketiga, bisa dibilang adalah mereka yang boleh dikatakan “tidak tahu diri”, yaitu mereka yang hanya mengeruk keuntungan bagi dirinya tanpa memikirkan yang lain. Ibarat kata “tidak menanam tapi ikut memanen”. Jika melihat data tingkat kepatuhan Wajib Pajak sebagaimana sebagaimana data DJP, sepertinya golongan kedua dan ketiga masih mendominasi.

Meskipun subsidi BBM ini begitu banyak menyedot anggaran negara, tetapi pemerintah selalu terjebak dalam dilema penurunan subsidi dan mungkin akan terjadi lagi pada pemerintahan yang akan datang hasil pemilu 2014. Berbagai road map penurunan subsidi BBM telah dibuat oleh para birokrat sejak tahun 2008, namun berbagai road map tersebut bukanlah apa yang diinginkan oleh para politisi. Pada akhirnya penurunan subsidi yang artinya menaikkan harga BBM menjadi isu yang sangat-sangat ditakuti oleh pemerintah.

Bahkan di satu sisi, pemerintah juga secara tidak langsung menambah persoalan akan subsidi BBM dengan kebijakan mobil murahnya yang bernama LCGC (Low Cost Green Car) demi alasan investasi. Sebelumnya sudah ada beberapa kebijakan Pemerintah dalam pembatasan penjualan BBM bersubsidi (BBM-S). 

Antara lain mengharuskan mobil dinas pemerintah memakai BBM non subsidi. Ada lagi ujicoba penggunaan RFID (Radio Frequency Identification Device) yang berfungsi membatasi pembelian dan dipasang pada nosel SPBU dan mulut tangki Kendaraan Bermotor (KB).

Pemasangan RFID akhirnya banyak menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Ada beberapa kelemahan pada sistem RFID yang diantaranya adalah tidak ada pemilahan siapa yang berhak dan yang tidak berhak. 

Dari sisi perpajakan, ada suatu cara atau solusi sistem pengontrolan BBM bersubsidi yang dapat dilakukan oleh pemerintah. Bahwa BBM bersubsidi boleh juga dinikmati oleh orang kaya atau mampu tetapi harus juga dipastikan bahwa orang tersebut benar telah membayar pajak penghasilannya (PPh) dengan benar dan melaporkan SPT dengan benar, lengkap dan jelas sebagaimana amanat UU KUP.

Bagaimana caranya? Orang kaya atau mampu disini dapat diterjemahkan yaitu orang yang memiliki kendaraan bermotor roda empat atau lebih. Bahwa setiap orang dengan kendaraan yang akan mengisi BBM ditangki pengisian BBM bersubsidi khusus mobil (karena biasanya tangki pengisian untuk sepeda motor di tiap SPBU terpisah) harus menunjukkan atau menggesek kartu NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) yang telah divalidasi oleh kantor pajak.

Gambaran teknisnya adalah setiap tangki pengisian BBM bersubsidi khususnya untuk mobil dipasang alat pembaca kartu magnetik seperti alat gesek kartu kredit atau ATM di kasir. Validasi NPWP dilakukan oleh kantor pajak untuk memastikan bahwa orang tersebut telah membayar dan melaporkan pajak dengan benar saat penyampaian SPT Tahunan. 

Jika seseorang mempunyai lebih dari satu mobil maka harus dilaporkan dalam SPT Tahunannya sehingga mobil lainnya tersebut mendapat “hak” untuk meminum BBM bersubsidi. Dengan demikian ada suatu motivasi untuk melaporkan “harta” sesuai dengan keadaan sebenarnya.

Bagi golongan pertama “penikmat subsidi BBM”, sistem ini memberikan suatu “manfaat langsung” atas kepatuhannya akan perpajakan. Bagi golongan kedua, sistem ini memberikan motivasi untuk lebih perduli pajak karena tanpa melaporkan SPT-nya, tentu saja tidak akan mendapat validasi dari kantor pajak sehingga tidak berhak untuk menikmati BBM bersubsidi. 

Untuk golongan ketiga, sistem ini diharapkan akan membuat mereka secara sukarela (voluntary) mendaftar sebagai WP baru dan membayar pajak sebagai bukti keikutsertaan mereka dalam “pembiayaan subsidi oleh negara”.

Tetapi jika mereka lebih memilih melakukan tax evasion dengan tidak melaporkan SPT atau juga tidak perlu ber-NPWP, maka masih ada potensi yaitu jualan Pertamina berupa BBM non subsidi akan lebih laku yang pada akhirnya meningkatkan pendapatan negara bukan pajak. Istilahnya tidak masuk kantong kanan, akhirnya masuk juga ke kantong kiri. 

Dengan kata lain, sistem ini mendorong masyarakat “penikmat BBM bersubsidi” untuk lebih peduli dan patuh terhadap pajak. Sistem ini juga memberikan suatu keadilan karena yang lebih banyak menikmati BBM bersubsidi diwajibkan membayar PPh yang lebih besar dari pada yang lebih sedikit menikmatinya. Sistem ini akan memberikan peluang yang lebih kecil pada orang-orang yang “seharusnya atau diwajibkan menanam, tetapi tidak mau nenamam” untuk ikut-ikutan memanen.

Dengan meningkatnya kepatuhan terhadap pajak, maka penerimaan pajak terutama PPh Orang Pribadi yang selama ini belum begitu banyak tergali akan meningkat secara signifikan dan bisa menutup anggaran subsidi BBM sehingga tidak lagi menggerogoti anggaran untuk pembangunan yang lebih penting lainnya seperti pembangunan infrastruktur atau anggaran mitigasi bencana, penanganannya maupun rehabilitasi pasca bencana alam yang begitu meningkat pesat belakangan ini melanda hampir di seluruh wilayah Indonesia. 

Efek terakhir yang diharapkan yaitu terciptanya suatu pertumbuhan ekonomi yang lebih sehat dan yang berkeadilan.

No comments:

Post a Comment