Oleh Aidin Fathur Rahman, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Nilai belanja dalam RAPBN 2014 diperkirakan bakal naik dari awalnya
di Nota Keuangan Rp 1.816,7 triliun, menjadi Rp 1.849,8 triliun.
Kenaikan Rp 33 triliun ini karena subsidi energi yang meningkat.
Belanja
subsidi energi di RAPBN 2014 melonjak Rp 44,1 triliun, dari Rp 284,7
triliun menjadi Rp 328,7 triliun. Angka tersebut terbagi 2 yakni untuk
subsidi BBM Rp 35,9 triliun dan subsidi listrik Rp 8,2 triliun (data
Kementerian Keuangan). Pada 2014 ini, pemerintah mengalokasikan BBM
subsidi bagi masyarakat sebesar 48 juta kiloliter.
Meski kuota ini tak berbeda dari tahun sebelumnya, pemerintah
terpaksa tetap merogoh kocek lebih dalam akibat terus menguatnya dolar
Amerika Serikat sehingga melemahkan nilai tukar rupiah. Dengan melihat
angka subsidi energi yang masih tetap besar sebagaimana tahun-tahun
sebelumnya tersebut, tentu hal ini akan berpengaruh terhadap anggaran
pemerintah untuk perbaikan infrastruktur dan fasilitas-fasilitas lainnya
untuk kesejahteraan masyarakat.
Dengan anggaran belanja yang semakin
besar, tentu penerimaan negara terutama dari sektor pajak juga dinaikkan
targetnya yang mana pada tahun 2014, dipatok pada angka Rp. 1.110,2
Triliun.
Meskipun Dirjen Pajak mengusulkan untuk menurunkan target tersebut
sebesar menjadi sekitar Rp. 1.034 Triliun setelah setelah menimbang
perkiraan melesetnya hampir seluruh asumsi makro APBN 2014. Peran
penerimaan pajak ini adalah sebesar 66,6% dari total proyeksi pendapatan
negara tahun 2014 yaitu sebesar Rp. 1.667.1 triliun.
Sebagaimana
ditenggarai banyak pihak terutama para ekonom, bahwa subsidi atas BBM
lebih banyak dinikmati oleh masyarakat berpendapatan tinggi dan menengah
karena kepemilikan mereka atas kendaraan roda empat atau lebih yang
tentunya berpengaruh terhadap nilai subsidi yang mereka nikmati atas
BBM.
Sepanjang satu dekade terakhir, penjualan mobil rata-rata tumbuh 12
persen per tahun. Bahkan, pada 2012, penjualan mobil Indonesia melonjak
25 persen menjadi hampir 1,2 juta unit. Ke depan, diperkirakan penjualan
mobil di negeri ini akan terus meningkat, bahkan Indonesia diperkirakan
masih akan menjadi salah satu negara dengan pertumbuhan penjualan mobil
tertinggi. Dengan pertumbuhan penjualan mobil tersebut, penetrasi
kepemilikan kendaraan bermotor di Indonesia juga akan semakin meningkat.
Suatu penelitian memperkirakan sepanjang periode 2012-2018,
kepemilikan mobil diproyeksikan tumbuh rata-rata 7 persen per tahun.
Kepemilikan mobil dari 45 per 1000 orang saat ini akan naik menjadi 60
per 1000 orang hingga 2018.
Data tersebut menunjukkan bahwa telah
terjadi peningkatan daya beli masyarakat atau adanya
peningkatan/penambahan penghasilan. Pada sisi lain, penambahan kendaraan
bermotor akan mengharuskan pemerintah menambah kuota atas subsidi BBM
atau menambah belanja subsidi BBM.
Pertumbuhan ekonomi berefek pada
meningkatkan kebutuhan akan energi yang berimplikasi pada membengkaknya
subsidi energi yang akan menguras anggaran Negara untuk membangun
infrastruktur yang sangat lebih penting untuk menjaga kelangsungan
pertumbuhan ekonomi yang diharapkan.
Penambahan subsidi atas BBM juga telah menyebabkan meningkatnya
kesenjangan pendapatan yang lebar antara si kaya dan si miskin. Bank
Indonesia menyatakan angka tingkat kesenjangan ekonomi (gini rasio) pada
2013 lebih tinggi dibandingkan di 2012 sebesar 0,41 persen.
Oleh karena
itu diperlukan suatu kebijakan sebagai penyeimbang yaitu penerimaan
negara terutama penerimaan dari sektor pajak harus ditingkatkan, baik
itu Pajak Penghasilan Orang Pribadi maupun PPh Badan atau korporasi.
Pertanyaannya adalah apakah orang-orang yang mempunyai kendaraan
tersebut sudah ber-NPWP (menjadi Wajib Pajak) dan membayar Pajak
Penghasilan (PPh) dan juga telah melaporkan SPT (Surat Pemberitahuan)
Tahunannya.
Ada tiga kategori dari golongan “penikmat subsidi BBM”
tersebut. Pertama, mereka yang sudah ber-NPWP, sudah membayar PPh Orang
Pribadi atau telah dipotong PPh-nya oleh pemberi kerja dan melaporkan
SPT-nya. Kedua, mereka yang sudah ber-NPWP, telah membayar atau dipotong
PPh-nya tetapi tidak melaporkan SPT-nya. Ketiga adalah mereka yang
belum ber-NPWP yang tentu saja tidak membayar PPh dan tidak juga
melaporkan SPT.
Atas golongan pertama tentu secara etika moral ataupun ekonomi layak
untuk menikmati subsidi BBM yang diberikan negara atas kepatuhannya
terhadap perpajakan. Untuk golongan kedua perlu diberikan penjelasan
bahwa pelaporan atas SPT adalah “wajib” hukumnya karena SPT tersebut
sangat penting bagi sistem administrasi perpajakan. Untuk yang golongan
ketiga, bisa dibilang adalah mereka yang boleh dikatakan “tidak tahu
diri”, yaitu mereka yang hanya mengeruk keuntungan bagi dirinya tanpa
memikirkan yang lain. Ibarat kata “tidak menanam tapi ikut memanen”.
Jika melihat data tingkat kepatuhan Wajib Pajak sebagaimana sebagaimana
data DJP, sepertinya golongan kedua dan ketiga masih mendominasi.
Meskipun subsidi BBM ini begitu banyak menyedot anggaran negara,
tetapi pemerintah selalu terjebak dalam dilema penurunan subsidi dan
mungkin akan terjadi lagi pada pemerintahan yang akan datang hasil
pemilu 2014. Berbagai road map penurunan subsidi BBM telah dibuat oleh
para birokrat sejak tahun 2008, namun berbagai road map tersebut
bukanlah apa yang diinginkan oleh para politisi. Pada akhirnya penurunan
subsidi yang artinya menaikkan harga BBM menjadi isu yang sangat-sangat
ditakuti oleh pemerintah.
Bahkan di satu sisi, pemerintah juga secara tidak langsung menambah
persoalan akan subsidi BBM dengan kebijakan mobil murahnya yang bernama
LCGC (Low Cost Green Car) demi alasan investasi. Sebelumnya sudah ada
beberapa kebijakan Pemerintah dalam pembatasan penjualan BBM bersubsidi
(BBM-S).
Antara lain mengharuskan mobil dinas pemerintah memakai BBM non
subsidi. Ada lagi ujicoba penggunaan RFID (Radio Frequency
Identification Device) yang berfungsi membatasi pembelian dan dipasang
pada nosel SPBU dan mulut tangki Kendaraan Bermotor (KB).
Pemasangan RFID akhirnya banyak menimbulkan pro dan kontra di
masyarakat. Ada beberapa kelemahan pada sistem RFID yang diantaranya
adalah tidak ada pemilahan siapa yang berhak dan yang tidak berhak.
Dari
sisi perpajakan, ada suatu cara atau solusi sistem pengontrolan BBM
bersubsidi yang dapat dilakukan oleh pemerintah. Bahwa BBM bersubsidi
boleh juga dinikmati oleh orang kaya atau mampu tetapi harus juga
dipastikan bahwa orang tersebut benar telah membayar pajak
penghasilannya (PPh) dengan benar dan melaporkan SPT dengan benar,
lengkap dan jelas sebagaimana amanat UU KUP.
Bagaimana caranya? Orang kaya atau mampu disini dapat diterjemahkan
yaitu orang yang memiliki kendaraan bermotor roda empat atau lebih.
Bahwa setiap orang dengan kendaraan yang akan mengisi BBM ditangki
pengisian BBM bersubsidi khusus mobil (karena biasanya tangki pengisian
untuk sepeda motor di tiap SPBU terpisah) harus menunjukkan atau
menggesek kartu NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) yang telah divalidasi
oleh kantor pajak.
Gambaran teknisnya adalah setiap tangki pengisian BBM bersubsidi
khususnya untuk mobil dipasang alat pembaca kartu magnetik seperti alat
gesek kartu kredit atau ATM di kasir. Validasi NPWP dilakukan oleh
kantor pajak untuk memastikan bahwa orang tersebut telah membayar dan
melaporkan pajak dengan benar saat penyampaian SPT Tahunan.
Jika
seseorang mempunyai lebih dari satu mobil maka harus dilaporkan dalam
SPT Tahunannya sehingga mobil lainnya tersebut mendapat “hak” untuk
meminum BBM bersubsidi. Dengan demikian ada suatu motivasi untuk
melaporkan “harta” sesuai dengan keadaan sebenarnya.
Bagi golongan pertama “penikmat subsidi BBM”, sistem ini memberikan
suatu “manfaat langsung” atas kepatuhannya akan perpajakan. Bagi
golongan kedua, sistem ini memberikan motivasi untuk lebih perduli pajak
karena tanpa melaporkan SPT-nya, tentu saja tidak akan mendapat
validasi dari kantor pajak sehingga tidak berhak untuk menikmati BBM
bersubsidi.
Untuk golongan ketiga, sistem ini diharapkan akan membuat
mereka secara sukarela (voluntary) mendaftar sebagai WP baru dan
membayar pajak sebagai bukti keikutsertaan mereka dalam “pembiayaan
subsidi oleh negara”.
Tetapi jika mereka lebih memilih melakukan tax evasion dengan tidak
melaporkan SPT atau juga tidak perlu ber-NPWP, maka masih ada potensi
yaitu jualan Pertamina berupa BBM non subsidi akan lebih laku yang pada
akhirnya meningkatkan pendapatan negara bukan pajak. Istilahnya tidak
masuk kantong kanan, akhirnya masuk juga ke kantong kiri.
Dengan kata
lain, sistem ini mendorong masyarakat “penikmat BBM bersubsidi” untuk
lebih peduli dan patuh terhadap pajak. Sistem ini juga memberikan suatu
keadilan karena yang lebih banyak menikmati BBM bersubsidi diwajibkan
membayar PPh yang lebih besar dari pada yang lebih sedikit menikmatinya.
Sistem ini akan memberikan peluang yang lebih kecil pada orang-orang
yang “seharusnya atau diwajibkan menanam, tetapi tidak mau nenamam”
untuk ikut-ikutan memanen.
Dengan meningkatnya kepatuhan terhadap pajak, maka penerimaan pajak
terutama PPh Orang Pribadi yang selama ini belum begitu banyak tergali
akan meningkat secara signifikan dan bisa menutup anggaran subsidi BBM
sehingga tidak lagi menggerogoti anggaran untuk pembangunan yang lebih
penting lainnya seperti pembangunan infrastruktur atau anggaran mitigasi
bencana, penanganannya maupun rehabilitasi pasca bencana alam yang
begitu meningkat pesat belakangan ini melanda hampir di seluruh wilayah
Indonesia.
Efek terakhir yang diharapkan yaitu terciptanya suatu
pertumbuhan ekonomi yang lebih sehat dan yang berkeadilan.
No comments:
Post a Comment