Pajak disebut
sebagai alat pemerataan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat
sehingga mewujudkan keadilan sosial, perlu lihat dulu konteks dari
pemerataan pendapatan. Jika pendapatan setiap masyarakat harus
disama-ratakan, tentu tidak setuju.
Namun bila pemungutan pajak
dilakukan dengan semangat keadilan atau sesuai dengan kemampuan masing-masing masyarakat, pasti setuju. Demikian ditegaskan Wakil Gubernur Kaltim Farid Wadjdy.
“Mekanisme pemungutan pajak yang memerhatikan azas keadilan saat
ini sudah baik. Yang jelas, karena dikumpulkan dari masyarakat, tentu
manfaat pajak harus kembali bisa dirasakan masyarakat, tanpa memandang
lapisan,” ujarnya.
Saat ini, menurutnya, hasil pungutan pajak dari masyarakat menjadi
salah satu sumber pendapatan negara. Pendapatan ini tentu dipergunakan
kembali untuk belanja negara. Belanja negara pun semangatnya untuk
memberikan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.
Hasil pajak memang dialokasikan ke kementerian dan daerah baik
tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Dalam hal ini, daerah sebagai
Kuasa Pengguna Anggaran (KPA). ”Nah, dalam konteks penggunaan pajak di
Kaltim, dalam hal ini penggunaan APBD, kami arahkan kepada kegiatan
yang dapat mendorong pertumbuhan perekonomian masyarakat,” tandasnya.
Farid mencontohkan, pembangunan infrastruktur di Kaltim seperti
jalan tol, pelabuhan, dan bandara. Infrastruktur dan akses yang baik
pasti memperlancar distribusi barang dan jasa, serta roda perekonomian yang
hasilnya tentu dirasakan langsung masyarakat. Selain itu, melalui pajak
pemerintah memberikan jaminan kesehatan dan pendidikan gratis bagi
warga.
Dalam hal belanja daerah, jelas Farid, pemprov tidak melihat lagi
mana yang berasal dari pajak, mana dana bagi hasil, dan mana pendapatan
lain-lain. Tapi di dalam penggunaannya, harus bisa dirasakan manfaatnya
oleh masyarakat.
”Saya setuju, publikasi APBDmerupakan
bagian dari transparansi menuju good governance. Memang secara gamblang
buku APBD belum kami ekspose secara utuh. Namun dalam setiap kegiatan,
kami selalu transparan dengan membuka ke publik berapa dana yang
digunakan,” ungkapnya.
Contohnya untuk pembangunan infrastruktur di
Kaltim, dana yang dikeluarkan pemerintah pasti dipublikasikan. Baik
untuk infrastruktur, pendidikan, kesehatan, semua sudah diungkap ke
publik.
Mengenai pemilik NPWP mendapat privilege di bidang Kesehatan dan di
bidang-bidang pelayanan publik seperti subsidi BBM dan lainnya, Farid
berpendapat, pemegang NPWP sudah mendapatkan keistimewaan tersendiri
dengan bisa mengakses kredit, jual beli tanah, atau pendirian lembaga.
Sedangkan keistimewaan untuk pendidikan, kesehatan, dan BBM, Farid
menyatakan, semua masyarakat Indonesia berhak mendapatkan hak yang sama
untuk sektor tersebut tanpa memandang mereka punya NPWP atau tidak.
Alasannya, pemegang NPWP adalah masyarakat golongan menengah atas.
Sementara kalangan masyarakat kecil seperti buruh tani, pemulung, mereka
masih awam terhadap NPWP. ”Pemberian keistimewaan kepada pemegang NPWP
mungkin perlu untuk merangsang masyarakat membayar pajak.
Namun untuk
pelayanan hak-hak dasar masyarakat seperti pendidikan, kesehatan, BBM, itu semua masyarakat harus diistimewakan,” tandas Farid.
Mengenai pajak kekayaan pemegang saham, perlu diperhatikan. Jangan
sampai pajak yang dibebankan bisa mengganggu iklim bisnis, yang pada
akhirnya berdampak pada perekonomian masyarakat secara tidak langsung
maupun langsung.
”Namun saya melihat, sudah sewajarnya yang kaya
menyubsidi yang miskin. Artinya, yang kaya membayar pajak sesuai dengan
kapasitas dia, agar bisa tercipta kemakmuran bersama, dan mungkin salah
satu jalannya melalui pemungutan pajak kekayaan pemegang saham.
Soal pemegang saham yang berkelit dari pajak, saya rasa ada aparat berwenang yang bisa menindaknya,” tambahnya.
No comments:
Post a Comment