Friday, August 22, 2014

Pemberdayaan Intagible Asset untuk Menyukseskan Terwujudnya Badan Otonom Pajak


Oleh Alpha Nur Setyawan Pudjono, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Artikel maupun berita mengenai kenapa Direktorat Jenderal Pajak (DJP) perlu menjadi Badan Otonom ataupun yang mengulas alasan penting kenapa DJP perlu menjadi Badan Otonom dan artikel sejenis sudah sering diulas di media internal DJP maupun eksternal DJP.  

Jadi perlu saya tekankan bahwa posisi artikel ini bukan dalam kapasitas sebagai artikel yang  memberikan alasan tambahan ataupun sanggahan atas perlu tidaknya DJP menjadi Badan Otonom, karena sudah begitu banyak artikel yang telah dibuat. 

Artikel ringan ini saya harap dapat  memberikan sentuhan berbeda dan mungkin dapat menjadi bahan renungan bagi kita semua, sebagai warga DJP untuk mensukseskan terbentuknya Badan Otonom Pajak dan juga dapat mengawal perubahan yang sedang kita implementasikan dalam bentuk Transformasi Kelembagaan DJP. Semoga.

Sebelum pembahasan lebih jauh, untuk pertama tama coba kita lihat terlebih dahulu program DJP apa yang terkait dengan artikel maupun berita mengenai “Badan Otonom Pajak” yang tersebar di media. 

Ternyata setelah ditelusuri lebih  mendalam keinginan  untuk  menjadi  Badan  Otonom Pajak  tersebut  ternyata  erat  kaitannya  dengan inisiatif 16 Transformasi Kelembagaan DJP “memastikan adanya fleksibilitas yang diperlukan  untuk   transformasi”. 

Kalau boleh saya menyederhanakan, alasah munculnya inisiatif 16 tersebut dikarenakan DJP sebagai institusi strategis untuk mengamankan penerimaan negara seringkali menghadapi kendala dalam memenuhi target pencapaian tax ratio yang biasanya akan selalu naik setiap tahun.  

Kendala yang dihadapi sebagaimana institusi pemerintah lainnya  yaitu DJP menghadapi kendala keterbatasan kewenangan di bidang sumber daya manusia, anggaran, dan organisasi.

Tentu saja solusi untuk mengatasi kendala tersebut serta meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengelolaan administrasi perpajakan adalah DJP memiliki kewenangan yang lebih luas terhadap sumber daya manusia, anggaran dan organisasi. 

Salah satu cara yang sering kita baca di media adalah DJP menjadi Badan Otonom. Sekali lagi apabila saya boleh menyederhanakan bahwa apabila pemerintah yang terpilih nanti menyetujui DJP menjadi Badan Otonom, maka DJP mempunyai senjata baru, senjata yang diharapkan akan sangat ampuh untuk mewujudkan visi dan misi DJP.

Tetapi pertanyaan yang mungkin akan muncul di benak kita semua sebagai warga DJP adalah apa yang bisa kita lakukan dalam rangka menyukseskan mendapatkan senjata tersebut dan setelah kita memperoleh senjata tersebut bagaimana kita merawat dan mengoptimalkan senjata tersebut. 

Atau dalam istilah change management, apa yang bisa kita lakukan dalam proses perubahan maupun mengawal perubahan. Ada satu kegelisahan yang kemungkinan dapat muncul di benak kita semua, jangan-jangan ketika DJP telah berhasil memperoleh kewenangan yang lebih dalam bentuk Badan Otonom, ternyata kita belum siap akan konsekuensi logis atas perubahan besar tersebut. 

Perlu menjadi catatan kita bersama bahwa tujuan  jangka panjang dari inisiatif 16 adalah mewujudkan lembaga penerimaan pemerintah yang dijalankan secara “swasta”. Yang tentu saja ketika DJP dikelola secara “swasta” akan menimbulkan begitu banyak konsekuensi logis yang mengikutinya.

Secara teori ada solusi yang ditawarkan untuk mengantisipasi kegelisahan kita bersama. Salah satu cara yang dapat kita lakukan dalam rangka menyongsong dan mengawal perubahan yang kemungkinan akan muncul jikalau nanti DJP akan menjadi Badan Otonom, dapat mengadopsi prinsip yang telah diulas dengan komprehensif oleh Prof. Rhenald Kasali, Phd. dalam bukunya yang berjudul “Myelin”. 

Di dalam buku tersebut disebutkan bahwa untuk mengawal perubahan, perusahaan dapat memobilisasi intangible asset menjadi kekuatan perubahan. 

Selain itu didalam buku tersebut dijelaskan pula bahwa intangible asset dibagi menjadi dua, yaitu intangible asset yang dimiliki oleh karyawan dalam hal ini dapat berupa keterampilan, disiplin, budi pekerti, inovasi, daya juang; dan yang kedua adalah intangible asset yang dimiliki oleh pelanggan (stakeholder) yang dapat berupa brand images, reputasi, brand loyalty

Selain itu terdapat ulasan mengenai karakteristik yang menonjol dari intangible asset adalah tidak mudah diperoleh dengan singkat, sekali diperoleh dapat terus dikembangkan pada area-area baru, melekat kepada manusia baik karyawan atau pelanggan.

Contoh sederhana dari perusahaan yang berhasil mengelola intangible asset adalah perusahaan taksi Blue Bird Group (BBG). Jikalau anda warga Jakarta atau pernah berkunjung ke Jakarta, ketika akan memilih taksi maka sebagian besar warga Jakarta akan menyarankan anda untuk menggunakan taksi BBG sebagai alternatif pertama. 

Dalam hal ini para warga Jakarta yang notabene sebagai pelanggan telah memperoleh intangible asset dari perusahaan BBG dalam bentuk brand loyalty atas reputasi (brand images) yang berhasil diraih oleh BBG sebagai taksi yang aman dan nyaman. 

Reputasi ini dikarenakan para sopir BBG telah dibekali semangat disiplin yang kuat, keterampilan yang memadai, maupun semangat kejujuran.

Hal yang paling simpel adalah ketika penumpang keluar dari BBG maka secara otomatis sopir BBG akan menengok terlebih dahulu ke belakang untuk melihat adakah barang dari penumpang yang tertinggal. 

Jikalau nantinya ada barang tertinggal dan penumpang sudah meninggalkan taksi, maka ada jaminan dari BBG bahwa sopir taksi akan mengembalikan barang tersebut. Akan tetapi sesuai dengan karakteristik intangible asset, sifat dari para sopir ini tidak bisa serta merta didapat, butuh pelatihan dan proses yang panjang dari pihak BBG. 

Jadi meskipun pada hari ini banyak perusahaan taksi yang mengecat warna taksi nya menjadi warna biru, BBG tetap menjadi pilihan utama pelanggan, dikarenakan intangible asset yang dimilikinya.  

Lalu, apa kaitan antara pentingnya intangible asset dengan mensuksekan DJP menjadi Badan Otonom yang notabene selaras dengan semangat Transformasi Kelembagaan tersebut. Tentu saja sangat berkaitan. 

Sekarang kita bayangkan dengan menggunakan contoh ekstrim, apabila nantinya BBG tidak berhasil mengelola intangible asset, semisal banyak dari sopir BBG yang diketahui melakukan kecurangan argo, menipu pelanggan dengan memilih jalan yang memutar, tidak mengembalikan barang penumpang yang tertinggal, maka lambat laun pelanggan akan beralih ke taksi yang lain, meskipun BBG sudah memiliki keunggulan tangible asset (Misal, armada taksi terbaru) daripada perusahaan taksi yang lain. 

Atau dalam bahasa lainnya ketika perusahaan tidak berhasil mengelola intangible asset, seberapapun kuatnya tangible asset yang dimiliki, perusahaan akan menjadi stagnan dan cenderung mengalami penurunan.

Secara lebih spesifik bagaimana dengan DJP, apakah perlu DJP mengelola intangible asset yang dimiliki para pegawainya. Jawabannya sudah pasti DJP perlu mengelola intangible asset. Pertanyaan selanjutnya kenapa DJP perlu mengelola intangible asset

Jawaban singkatnya adalah meskipun dijamin oleh Undang-Undang bahwa pelanggan dalam hal ini wajib pajak akan selalu datang ke DJP. Dengan kata lain, wajib pajak tidak mempunyai pilihan lain selain hanya ke DJP untuk memenuhi kewajiban perpajakannya. 

Dalam arti, meskipun intangible asset kita kurang, mau tidak mau wajib pajak harus datang ke DJP untuk memenuhi kewajiban perpajakannya, karena mereka tidak punya pilihan lain. Tetapi ada satu risiko yang dapat dirasakan oleh DJP, yaitu menurunnya tingkat kepuasan terhadap pelayanan DJP yang pada akhirnya nanti dapat mempengaruhi tingkat kepatuhan pajak. Ujung-ujungnya dapat berpengaruh buruk terhadap realisasi penerimaan negara.  
 
Selain itu penulis merasa perlu menekankan bahwa di sisi lain ternyata DJP secara intitusi sudah memilik landasan filosofis transformasi yang selaras dengan teori pengelolaan intangible asset nya Rhenald Kasali. 

Salah satunya adalah memperkuat budaya akuntabilitas yang dahulu berorientasi kepada output sekarang berubah menjadi berorientasi kepada outcome dan juga perubahan corporate value lain yang penulis tidak bisa sebutkan satu persatu. (Sumber lebih lengkap dapat dilihat di Cetak Biru Transformasi Kelembagaan Kementerian Keuangan 2014-2025).  

Jadi, DJP secara institusi ternyata telah mempunyai filosofis untuk mengawal perubahan. Tinggal bagaimana dengan sikap kita sekarang sebagai pegawai DJP. Akankah kita membiarkan institusi DJP bergerak sendiri dalam melakukan perubahan atau kita ingin ikut serta?  Ditambah lagi apabila pada akhirnya DJP nanti benar benar memperoleh kewenangan dalam bentuk Badan Otonom. 

Apakah kita akan menjadi seorang pelukis yang ketika kita sudah mempunyai alat bagus, kanvas termahal, cat air paling muktakhir, tapi ternyata tidak tahu bagaimana cara melukis, atau kita malah menjual kanvas tersebut?

Akhir dari artikel ini penulis mengajak kita semua untuk menyikapi dengan bijak euforia keinginan untuk menjadi Badan Otonom dengan tidak mengenyampingkan untuk senantiasa memupuk intangible asset di dalam diri kita masing masing. 

Mari kita bantu DJP, menjadikan intangible asset yang bagus menjadi corporate culture DJP. Susah memang, tapi bukan berarti tidak mungkin.

No comments:

Post a Comment