Oleh Alpha Nur Setyawan Pudjono, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Artikel maupun berita mengenai kenapa Direktorat Jenderal Pajak (DJP)
perlu menjadi Badan Otonom ataupun yang mengulas alasan penting kenapa
DJP perlu menjadi Badan Otonom dan artikel sejenis sudah sering diulas
di media internal DJP maupun eksternal DJP.
Jadi perlu saya tekankan
bahwa posisi artikel ini bukan dalam kapasitas sebagai artikel yang
memberikan alasan tambahan ataupun sanggahan atas perlu tidaknya DJP
menjadi Badan Otonom, karena sudah begitu banyak artikel yang telah
dibuat.
Artikel ringan ini saya harap dapat memberikan sentuhan berbeda
dan mungkin dapat menjadi bahan renungan bagi kita semua, sebagai warga
DJP untuk mensukseskan terbentuknya Badan Otonom Pajak dan juga dapat
mengawal perubahan yang sedang kita implementasikan dalam bentuk
Transformasi Kelembagaan DJP. Semoga.

Ternyata
setelah ditelusuri lebih mendalam keinginan untuk menjadi Badan Otonom
Pajak tersebut ternyata erat kaitannya dengan inisiatif 16 Transformasi
Kelembagaan DJP “memastikan adanya fleksibilitas yang diperlukan untuk
transformasi”.
Kalau boleh saya menyederhanakan, alasah munculnya
inisiatif 16 tersebut dikarenakan DJP sebagai institusi strategis untuk
mengamankan penerimaan negara seringkali menghadapi kendala dalam
memenuhi target pencapaian tax ratio yang biasanya akan selalu
naik setiap tahun.
Kendala yang dihadapi sebagaimana institusi
pemerintah lainnya yaitu DJP menghadapi kendala keterbatasan kewenangan
di bidang sumber daya manusia, anggaran, dan organisasi.
Tentu saja solusi untuk mengatasi kendala tersebut serta meningkatkan
efektivitas dan efisiensi pengelolaan administrasi perpajakan adalah
DJP memiliki kewenangan yang lebih luas terhadap sumber daya manusia,
anggaran dan organisasi.
Salah satu cara yang sering kita baca di media
adalah DJP menjadi Badan Otonom. Sekali lagi apabila saya boleh
menyederhanakan bahwa apabila pemerintah yang terpilih nanti menyetujui
DJP menjadi Badan Otonom, maka DJP mempunyai senjata baru, senjata yang
diharapkan akan sangat ampuh untuk mewujudkan visi dan misi DJP.
Tetapi pertanyaan yang mungkin akan muncul di benak kita semua
sebagai warga DJP adalah apa yang bisa kita lakukan dalam rangka
menyukseskan mendapatkan senjata tersebut dan setelah kita memperoleh
senjata tersebut bagaimana kita merawat dan mengoptimalkan senjata
tersebut.
Atau dalam istilah change management, apa yang bisa
kita lakukan dalam proses perubahan maupun mengawal perubahan. Ada satu
kegelisahan yang kemungkinan dapat muncul di benak kita semua,
jangan-jangan ketika DJP telah berhasil memperoleh kewenangan yang lebih
dalam bentuk Badan Otonom, ternyata kita belum siap akan konsekuensi
logis atas perubahan besar tersebut.
Perlu menjadi catatan kita bersama
bahwa tujuan jangka panjang dari inisiatif 16 adalah mewujudkan lembaga
penerimaan pemerintah yang dijalankan secara “swasta”. Yang tentu saja
ketika DJP dikelola secara “swasta” akan menimbulkan begitu banyak
konsekuensi logis yang mengikutinya.
Secara teori ada solusi yang ditawarkan untuk mengantisipasi
kegelisahan kita bersama. Salah satu cara yang dapat kita lakukan dalam
rangka menyongsong dan mengawal perubahan yang kemungkinan akan muncul
jikalau nanti DJP akan menjadi Badan Otonom, dapat mengadopsi prinsip
yang telah diulas dengan komprehensif oleh Prof. Rhenald Kasali, Phd.
dalam bukunya yang berjudul “Myelin”.
Di dalam buku tersebut disebutkan
bahwa untuk mengawal perubahan, perusahaan dapat memobilisasi intangible asset menjadi kekuatan perubahan.
Selain itu didalam buku tersebut dijelaskan pula bahwa intangible asset dibagi menjadi dua, yaitu intangible asset
yang dimiliki oleh karyawan dalam hal ini dapat berupa keterampilan,
disiplin, budi pekerti, inovasi, daya juang; dan yang kedua adalah
intangible asset yang dimiliki oleh pelanggan (stakeholder) yang dapat berupa brand images, reputasi, brand loyalty.
Selain itu terdapat ulasan mengenai karakteristik yang menonjol dari intangible asset
adalah tidak mudah diperoleh dengan singkat, sekali diperoleh dapat
terus dikembangkan pada area-area baru, melekat kepada manusia baik
karyawan atau pelanggan.
Contoh sederhana dari perusahaan yang berhasil mengelola intangible asset
adalah perusahaan taksi Blue Bird Group (BBG). Jikalau anda warga
Jakarta atau pernah berkunjung ke Jakarta, ketika akan memilih taksi
maka sebagian besar warga Jakarta akan menyarankan anda untuk
menggunakan taksi BBG sebagai alternatif pertama.
Dalam hal ini para
warga Jakarta yang notabene sebagai pelanggan telah memperoleh intangible asset dari perusahaan BBG dalam bentuk brand loyalty atas reputasi (brand images)
yang berhasil diraih oleh BBG sebagai taksi yang aman dan nyaman.
Reputasi ini dikarenakan para sopir BBG telah dibekali semangat disiplin
yang kuat, keterampilan yang memadai, maupun semangat kejujuran.
Hal yang paling simpel adalah ketika penumpang keluar dari BBG maka
secara otomatis sopir BBG akan menengok terlebih dahulu ke belakang
untuk melihat adakah barang dari penumpang yang tertinggal.
Jikalau
nantinya ada barang tertinggal dan penumpang sudah meninggalkan taksi,
maka ada jaminan dari BBG bahwa sopir taksi akan mengembalikan barang
tersebut. Akan tetapi sesuai dengan karakteristik intangible asset,
sifat dari para sopir ini tidak bisa serta merta didapat, butuh
pelatihan dan proses yang panjang dari pihak BBG.
Jadi meskipun pada
hari ini banyak perusahaan taksi yang mengecat warna taksi nya menjadi
warna biru, BBG tetap menjadi pilihan utama pelanggan, dikarenakan intangible asset yang dimilikinya.
Lalu, apa kaitan antara pentingnya intangible asset dengan
mensuksekan DJP menjadi Badan Otonom yang notabene selaras dengan
semangat Transformasi Kelembagaan tersebut. Tentu saja sangat berkaitan.
Sekarang kita bayangkan dengan menggunakan contoh ekstrim, apabila
nantinya BBG tidak berhasil mengelola intangible asset, semisal
banyak dari sopir BBG yang diketahui melakukan kecurangan argo, menipu
pelanggan dengan memilih jalan yang memutar, tidak mengembalikan barang
penumpang yang tertinggal, maka lambat laun pelanggan akan beralih ke
taksi yang lain, meskipun BBG sudah memiliki keunggulan tangible asset (Misal,
armada taksi terbaru) daripada perusahaan taksi yang lain.
Atau dalam
bahasa lainnya ketika perusahaan tidak berhasil mengelola intangible asset, seberapapun kuatnya tangible asset yang dimiliki, perusahaan akan menjadi stagnan dan cenderung mengalami penurunan.
Secara lebih spesifik bagaimana dengan DJP, apakah perlu DJP mengelola intangible asset yang dimiliki para pegawainya. Jawabannya sudah pasti DJP perlu mengelola intangible asset. Pertanyaan selanjutnya kenapa DJP perlu mengelola intangible asset.
Jawaban singkatnya adalah meskipun dijamin oleh Undang-Undang bahwa
pelanggan dalam hal ini wajib pajak akan selalu datang ke DJP. Dengan
kata lain, wajib pajak tidak mempunyai pilihan lain selain hanya ke DJP
untuk memenuhi kewajiban perpajakannya.
Dalam arti, meskipun intangible asset
kita kurang, mau tidak mau wajib pajak harus datang ke DJP untuk
memenuhi kewajiban perpajakannya, karena mereka tidak punya pilihan
lain. Tetapi ada satu risiko yang dapat dirasakan oleh DJP, yaitu
menurunnya tingkat kepuasan terhadap pelayanan DJP yang pada akhirnya
nanti dapat mempengaruhi tingkat kepatuhan pajak. Ujung-ujungnya dapat
berpengaruh buruk terhadap realisasi penerimaan negara.
Selain itu penulis merasa perlu menekankan bahwa di sisi lain
ternyata DJP secara intitusi sudah memilik landasan filosofis
transformasi yang selaras dengan teori pengelolaan intangible asset
nya Rhenald Kasali.
Salah satunya adalah memperkuat budaya
akuntabilitas yang dahulu berorientasi kepada output sekarang berubah
menjadi berorientasi kepada outcome dan juga perubahan corporate value
lain yang penulis tidak bisa sebutkan satu persatu. (Sumber lebih
lengkap dapat dilihat di Cetak Biru Transformasi Kelembagaan Kementerian
Keuangan 2014-2025).
Jadi, DJP secara institusi ternyata telah mempunyai filosofis untuk
mengawal perubahan. Tinggal bagaimana dengan sikap kita sekarang sebagai
pegawai DJP. Akankah kita membiarkan institusi DJP bergerak sendiri
dalam melakukan perubahan atau kita ingin ikut serta? Ditambah lagi
apabila pada akhirnya DJP nanti benar benar memperoleh kewenangan dalam
bentuk Badan Otonom.
Apakah kita akan menjadi seorang pelukis yang
ketika kita sudah mempunyai alat bagus, kanvas termahal, cat air paling
muktakhir, tapi ternyata tidak tahu bagaimana cara melukis, atau kita
malah menjual kanvas tersebut?
Akhir dari artikel ini penulis mengajak kita semua untuk menyikapi
dengan bijak euforia keinginan untuk menjadi Badan Otonom dengan tidak
mengenyampingkan untuk senantiasa memupuk intangible asset di dalam diri kita masing masing.
Mari kita bantu DJP, menjadikan intangible asset yang bagus menjadi corporate culture DJP. Susah memang, tapi bukan berarti tidak mungkin.
No comments:
Post a Comment