Friday, August 22, 2014

Pajak: Menjaga Transformasi di Masa Transisi: Peran Change Agents dan Komunikasi Internal


Oleh Aprilsal W. Malale, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Indonesia menorehkan sejarah baru. Ketua KPU Khusni Kamil Malik telah mengetuk palu Rapat Pleno Penetapan Hasil Perhitungan Suara Pemilu Presiden pada tanggal 22 Juli, tepat pukul 21.30 WIB yang mensahkan Pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla sebagai pemenang dengan perolehan 53,15% dari total suara sah.

Sejarah anyar yang dicatatkan oleh bangsa ini tidaklah mudah, karena harus melewati proses kompleks yang melelahkan dan mahal. Tidak kurang dari 4 juta Petugas Pemungutan Suara yang tersebar di 550 ribu TPS telah menjadi saksi pemungutan suara kurang lebih 189 juta rakyat Indonesia. 

Di lain sisi APBN mencatat sekurang-kurangnya 7,9 triliun rupiah digelontorkan untuk pergelaran pesta demokrasi-satu-hari kedua terbesar di dunia ini. Harga yang sangat besar demi menggenapkan amanat konstitusi UUD 1945. Dengan bergantinya presiden, maka kedudukan eksekutif yang berada di dalam lingkup hak prerogatif presiden juga akan berganti.

Datangnya pemerintahan baru tentu mendatangkan sejumlah program dan kebijakan strategis baru. Kondisi ini tentu akan menimbulkan pertanyaan: Bagaimana kesinambungan program dan kebijakan strategis yang telah diinisasi oleh pemerintahan sebelumnya? 

Terlebih khusus, bagaimana nasib dan kelanjutan Program Transformasi Kelembagaan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang sudah dicanangkan sejak tahun 2013?

Jalan Panjang Reformasi dan Transformasi DJP
Perubahan di DJP juga melewati proses kompleks yang melelahkan, mahal, serta memakan waktu lama. Reformasi Birokrasi diawali dengan peresmian KPP dan Kanwil DJP WP Besar pada tanggal 9 September 2002. 

Sejak itu, Rentetan pemekaran dan peleburan Kantor Pelayanan dan Kantor Wilayah telah dilakukan. Hingga kini tidak kurang dari 31 Kantor Wilayah, 321 KPP, dan 628 KP2KP tersebar di seluruh Indonesia.

Penyempurnaan proses bisnis lama dan penambahan proses bisnis baru juga menjadi salah satu pilar reformasi di DJP, serta penerapan e-system untuk memudahkan Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajibannya, dan masih banyak lagi hingga ke Program Transformasi Kelembagaan yang saat ini sedang bergema di DJP. 

Program Transformasi Kelembagaan yang mengusung 16 Inisiatif perubahan untuk DJP dengan target utama mencapai tax ratio 19%, adalah program yang digariskan untuk terimplementasi hingga tahun 2019. Berarti, program ini harus mempertahankan kesinambungannya melewati tiga kali pergantian kepemimpinan, dengan tiga model kepemimpinan yang berbeda, dengan tiga kebijakan yang berbeda.

Bila kita ingin melihat implementasi program ini selesai di tahun 2019 dan membuahkan hasil positif serta membanggakan di sepanjang perjalanan implementasi, maka dibutuhkan strategi dan pendekatan khusus untuk memastikan peralihan kekuasaan eksekutif berlangsung dengan lancar dan program-program strategis yang telah dimulai di pemerintahan lama akan dilanjutkan oleh pemerintahan yang baru, termasuk di dalamnya Program Transformasi Kelembagaan. Implementasi program ini membutuhkan strategi berbeda untuk menjaga suksesi transformasi di masa transisi.

Tanpa adanya strategi untuk menjaga keberlangsungan transformasi di masa peralihan kekuasaan ini, maka Program Transformasi Kelembagaan sangatlah rentan untuk hilang dari daftar prioritas pemerintahan yang baru, bahkan lebih parah lagi, Program ini bisa dianggap sebagai peninggalan pemerintahan lama yang tidak sepatutnya dilanjutkan. 

Bila hal ini terjadi, maka dokumen tebal berjudul Cetak Biru Program Transformasi Kelembagaan Tahun 2014-2019 hanya akan menjadi penghias di dalam lemari perpustakaan.

Multiplikasi Change Agents
Salah satu alternatif untuk mempertahankan kesinambungan Program Transformasi Kelembagaan DJP adalah dengan merekrut change agents. 

Sebagai motor penggerak sekaligus katalisator perubahan, change agents berada pada lini depan untuk menjaga keberlanjutan perubahan. Peran change agents dalam transformasi kelembagaan sangatlah vital dalam menjaga momentum transformasi tetap hidup meskipun dengan peralihan kekuasaan eksekutif dan jabatan derivatif di bawahnya.

Secara lebih khusus, dalam transformasi bersakala besar seperti Program Transformasi Kelembagaan ini, diperlukan change agents yang berdedikasi tinggi dan berkomitmen kuat untuk menyebarkan semangat transformasi kepada siapa saja yang ditemuinya. 

Change Agents bukanlah sebuah kelompok beranggotakan beberapa orang-orang tertentu. Membangun change agents tidaklah dimulai dengan pembentukan Tim. Change agents harus dipandang sebagai sekumpulan orang yang memiliki keyakinan dan komitmen yang sama untuk menjaga kelanjutan transformasi.

Dengan ukuran organisasi DJP yang besar, maka dibutuhkan pula banyak change agents untuk menyebarkan semangat transformasi khususnya di level operasional. Menggalang formasi Change Agents sebaiknya dimulai dari grass root level (level terendah dalam organisasi DJP), karena pada level itulah terdapat potensi agents yang lebih besar untuk terbentuk dengan tingkat multiplikasi yang lebih cepat.

Pada level inilah tantangan-tantangan operasional sehari-sehari terlihat nyata, sehingga menggalakkan semangat transformasi di level ini akan memberikan harapan baru akan perubahan, dan memberikan pemahaman yang berbeda, bahwa transformasi kelembagaan bukan hanya sekedar program penyerap anggaran, tetapi justru program vital untuk menjadikan DJP lebih baik lagi. 

Menggalang change agents yang berkomitmen mendukung transformasi kelembagaan pada grass root level sangatlah penting untuk dilakukan, terlebih lagi pada masa transisi pemerintahan seperti sekarang ini. Dengan kokohnya pemahaman di level akar rumput, maka gaung transformasi akan terus terdengar dan bergema di setiap sudut organisasi.

Engagement yang terbentuk pada tingkat ini akan menjadi pondasi transformasi yang berkesinambungan. Dengan semakin banyaknya peran serta change agents pada level operasional, gema transformasi yang disuarakan tentu saja akan menarik perhatian para pemimpin DJP dan Kementerian keuangan di masa depan. 

Dengan jalan ini diharapkan pergantian pemimpin tidak akan merombak tatanan lini waktu transformasi yang telah disusun, karena pondasi transformasi itu sendiri telah dibangun dengan kuat melalui penggalangan change agents.

Oleh karena itu, DJP perlu mengambil langkah yang cepat dan tepat sasaran untuk melakukan penggalangan change agents di seluruh Indonesia, dan bukan terpusat di Jakarta. Sentralisasi pemahaman tentang transformasi bukanlah jalan terbaik untuk menggalang dukungan di saat-saat seperti ini. 

Sebaliknya, desentralisasi informasi sangatlah dibutuhkan, tidak hanya untuk menggalang change agents yang menjadi motor penggerak di setiap sudut organisasi, melalinkan juga untuk menangkal resistensi yang bergerilya di dalam organisasi yang dapat membahayakan implementasi transformasi di masa depan. Desentralisasi informasi dan penggalangan change agents di daerah-daerah akan mempererat engagement dan memastikan dukungan mayoritas untuk transformasi.

Mulai Dari Stakeholder Internal
Transformasi kelembagaan di DJP juga sangat erat kaitannya dengan dukungan pemangku kekuasaan di republik ini. Dimulai dari Presiden dan Wakil Presiden, Menteri Keuangan dan Wakil Menteri Keuangan, Sekretaris Jenderal, dan Para Pemimpin Unit Eselon I di Kementerian Keuangan (untuk selanjutnya penulis menyebutnya dengan Para Pemimpin). 

Kelompok stakeholder internal ini (yang kemungkinan akan berganti seiring dengan pergantian pemerintahan) memerlukan pendekatan yang berbeda dibandingkan dengan pendekatan yang dilakukan dalam menggalang change agents di grass root level.

Para Pemimpin ini penting untuk sesegera mungkin dilibatkan dalam pergerakan transformasi kelembagaan, karena posisi mereka sebagai pemegang tanggung jawab kebijakan publik dan kinerja jangka panjang di pemerintahan/kementerian. 

Kita memerlukan para pemimpin untuk berdiri sebagai transformation champion yang konsisten mengarahkan dan memimpin implementasi transformasi. Komunikasi internal kepada para pemimpin harus dilakukan dengan intensif dan sedini mungkin saat pergantian pemimpin terjadi. Hal ini bertujuan untuk membentuk awareness akan transformasi.

Awareness para pemimpin yang baik adalah cikal bakal keterlibatan dan komitmen yang tinggi. Para pemimpin yang baru perlu mengetahui betapa pentingnya transformasi kelembagaan dalam membentuk DJP yang kuat, efektif, dan menyokong pembiayaan pemerintahan terpilih. 

Selain itu para pemimpin perlu mengetahui bahwa inilah kesempatan yang pas untuk membuat perubahan sektor ekonomi di Indonesia melalui transformasi kelembagaan di DJP dimana kesuksesan program ini akan berdampak besar tidak hanya bagi perbaikan birokrasi pemerintahan tetapi juga kekuatan perekonomian bangsa. 

Inilah saat yang tepat bagi Para pemimpin yang terlibat dalam program transformasi kelembagaan untuk menunjukkan kapabilitas kepemimpinannya dengan hasil yang lebih nyata dan terukur.

Kesimpulan
Momentum pemilu presiden adalah wake up call bagi DJP untuk bersiap-siap menyongsong pergantian kekuasaan eksekutif. Dengan mematangkan strategi dan memitigasi setiap risiko yang ada, maka sustainability Program Transformasi Kelembagaan akan tetap terjaga. 

Desentralisasi informasi dan penggalangan Change Agents di daerah-daerah seluruh Indonesia untuk memastikan dukungan mayoritas untuk transformasi dan mengokohkan pondasi perubahan yang selama ini telah dibangun. 

Selain itu, menjaga momentum transformasi juga harus dilakukan dengan meningkatkan awareness para pemimpin baru melalui komunikasi internal yang intensif sedini mungkin.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi dimana penulis bekerja.
Referensi Tulisan: 

No comments:

Post a Comment