Oleh Aprilsal W. Malale, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Indonesia menorehkan sejarah baru. Ketua KPU Khusni Kamil Malik telah
mengetuk palu Rapat Pleno Penetapan Hasil Perhitungan Suara Pemilu
Presiden pada tanggal 22 Juli, tepat pukul 21.30 WIB yang mensahkan
Pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla sebagai pemenang dengan perolehan
53,15% dari total suara sah.
Sejarah anyar yang dicatatkan oleh bangsa ini tidaklah mudah, karena
harus melewati proses kompleks yang melelahkan dan mahal. Tidak kurang
dari 4 juta Petugas Pemungutan Suara yang tersebar di 550 ribu TPS telah
menjadi saksi pemungutan suara kurang lebih 189 juta rakyat Indonesia.
Di lain sisi APBN mencatat sekurang-kurangnya 7,9 triliun rupiah
digelontorkan untuk pergelaran pesta demokrasi-satu-hari kedua terbesar
di dunia ini. Harga yang sangat besar demi menggenapkan amanat
konstitusi UUD 1945. Dengan bergantinya presiden, maka kedudukan
eksekutif yang berada di dalam lingkup hak prerogatif presiden juga akan
berganti.
Datangnya pemerintahan baru tentu mendatangkan sejumlah program dan
kebijakan strategis baru. Kondisi ini tentu akan menimbulkan pertanyaan:
Bagaimana kesinambungan program dan kebijakan strategis yang telah
diinisasi oleh pemerintahan sebelumnya?
Terlebih khusus, bagaimana nasib
dan kelanjutan Program Transformasi Kelembagaan Direktorat Jenderal
Pajak (DJP) yang sudah dicanangkan sejak tahun 2013?
Jalan Panjang Reformasi dan Transformasi DJP
Perubahan di DJP juga melewati proses kompleks yang melelahkan,
mahal, serta memakan waktu lama. Reformasi Birokrasi diawali dengan
peresmian KPP dan Kanwil DJP WP Besar pada tanggal 9 September 2002.
Sejak itu, Rentetan pemekaran dan peleburan Kantor Pelayanan dan Kantor
Wilayah telah dilakukan. Hingga kini tidak kurang dari 31 Kantor
Wilayah, 321 KPP, dan 628 KP2KP tersebar di seluruh Indonesia.
Penyempurnaan proses bisnis lama dan penambahan proses bisnis baru
juga menjadi salah satu pilar reformasi di DJP, serta penerapan e-system
untuk memudahkan Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajibannya, dan masih
banyak lagi hingga ke Program Transformasi Kelembagaan yang saat ini
sedang bergema di DJP.
Program Transformasi Kelembagaan yang mengusung
16 Inisiatif perubahan untuk DJP dengan target utama mencapai tax ratio
19%, adalah program yang digariskan untuk terimplementasi hingga tahun
2019. Berarti, program ini harus mempertahankan kesinambungannya
melewati tiga kali pergantian kepemimpinan, dengan tiga model
kepemimpinan yang berbeda, dengan tiga kebijakan yang berbeda.
Bila kita ingin melihat implementasi program ini selesai di tahun
2019 dan membuahkan hasil positif serta membanggakan di sepanjang
perjalanan implementasi, maka dibutuhkan strategi dan pendekatan khusus
untuk memastikan peralihan kekuasaan eksekutif berlangsung dengan lancar
dan program-program strategis yang telah dimulai di pemerintahan lama
akan dilanjutkan oleh pemerintahan yang baru, termasuk di dalamnya
Program Transformasi Kelembagaan. Implementasi program ini membutuhkan
strategi berbeda untuk menjaga suksesi transformasi di masa transisi.
Tanpa adanya strategi untuk menjaga keberlangsungan transformasi di
masa peralihan kekuasaan ini, maka Program Transformasi Kelembagaan
sangatlah rentan untuk hilang dari daftar prioritas pemerintahan yang
baru, bahkan lebih parah lagi, Program ini bisa dianggap sebagai
peninggalan pemerintahan lama yang tidak sepatutnya dilanjutkan.
Bila
hal ini terjadi, maka dokumen tebal berjudul Cetak Biru Program
Transformasi Kelembagaan Tahun 2014-2019 hanya akan menjadi penghias di
dalam lemari perpustakaan.
Multiplikasi Change Agents
Salah satu alternatif untuk mempertahankan kesinambungan Program
Transformasi Kelembagaan DJP adalah dengan merekrut change agents.
Sebagai motor penggerak sekaligus katalisator perubahan, change agents
berada pada lini depan untuk menjaga keberlanjutan perubahan. Peran
change agents dalam transformasi kelembagaan sangatlah vital dalam
menjaga momentum transformasi tetap hidup meskipun dengan peralihan
kekuasaan eksekutif dan jabatan derivatif di bawahnya.
Secara lebih khusus, dalam transformasi bersakala besar seperti
Program Transformasi Kelembagaan ini, diperlukan change agents yang
berdedikasi tinggi dan berkomitmen kuat untuk menyebarkan semangat
transformasi kepada siapa saja yang ditemuinya.
Change Agents bukanlah
sebuah kelompok beranggotakan beberapa orang-orang tertentu. Membangun
change agents tidaklah dimulai dengan pembentukan Tim. Change agents
harus dipandang sebagai sekumpulan orang yang memiliki keyakinan dan
komitmen yang sama untuk menjaga kelanjutan transformasi.
Dengan ukuran organisasi DJP yang besar, maka dibutuhkan pula banyak
change agents untuk menyebarkan semangat transformasi khususnya di level
operasional. Menggalang formasi Change Agents sebaiknya dimulai dari
grass root level (level terendah dalam organisasi DJP), karena pada
level itulah terdapat potensi agents yang lebih besar untuk terbentuk
dengan tingkat multiplikasi yang lebih cepat.
Pada level inilah tantangan-tantangan operasional sehari-sehari
terlihat nyata, sehingga menggalakkan semangat transformasi di level ini
akan memberikan harapan baru akan perubahan, dan memberikan pemahaman
yang berbeda, bahwa transformasi kelembagaan bukan hanya sekedar program
penyerap anggaran, tetapi justru program vital untuk menjadikan DJP
lebih baik lagi.
Menggalang change agents yang berkomitmen mendukung
transformasi kelembagaan pada grass root level sangatlah penting untuk
dilakukan, terlebih lagi pada masa transisi pemerintahan seperti
sekarang ini. Dengan kokohnya pemahaman di level akar rumput, maka gaung
transformasi akan terus terdengar dan bergema di setiap sudut
organisasi.
Engagement yang terbentuk pada tingkat ini akan menjadi pondasi
transformasi yang berkesinambungan. Dengan semakin banyaknya peran serta
change agents pada level operasional, gema transformasi yang disuarakan
tentu saja akan menarik perhatian para pemimpin DJP dan Kementerian
keuangan di masa depan.
Dengan jalan ini diharapkan pergantian pemimpin
tidak akan merombak tatanan lini waktu transformasi yang telah disusun,
karena pondasi transformasi itu sendiri telah dibangun dengan kuat
melalui penggalangan change agents.
Oleh karena itu, DJP perlu mengambil langkah yang cepat dan tepat
sasaran untuk melakukan penggalangan change agents di seluruh Indonesia,
dan bukan terpusat di Jakarta. Sentralisasi pemahaman tentang
transformasi bukanlah jalan terbaik untuk menggalang dukungan di
saat-saat seperti ini.
Sebaliknya, desentralisasi informasi sangatlah
dibutuhkan, tidak hanya untuk menggalang change agents yang menjadi
motor penggerak di setiap sudut organisasi, melalinkan juga untuk
menangkal resistensi yang bergerilya di dalam organisasi yang dapat
membahayakan implementasi transformasi di masa depan. Desentralisasi
informasi dan penggalangan change agents di daerah-daerah akan
mempererat engagement dan memastikan dukungan mayoritas untuk
transformasi.
Mulai Dari Stakeholder Internal
Transformasi kelembagaan di DJP juga sangat erat kaitannya dengan
dukungan pemangku kekuasaan di republik ini. Dimulai dari Presiden dan
Wakil Presiden, Menteri Keuangan dan Wakil Menteri Keuangan, Sekretaris
Jenderal, dan Para Pemimpin Unit Eselon I di Kementerian Keuangan (untuk
selanjutnya penulis menyebutnya dengan Para Pemimpin).
Kelompok
stakeholder internal ini (yang kemungkinan akan berganti seiring dengan
pergantian pemerintahan) memerlukan pendekatan yang berbeda dibandingkan
dengan pendekatan yang dilakukan dalam menggalang change agents di
grass root level.
Para Pemimpin ini penting untuk sesegera mungkin dilibatkan dalam
pergerakan transformasi kelembagaan, karena posisi mereka sebagai
pemegang tanggung jawab kebijakan publik dan kinerja jangka panjang di
pemerintahan/kementerian.
Kita memerlukan para pemimpin untuk berdiri
sebagai transformation champion yang konsisten mengarahkan dan memimpin
implementasi transformasi. Komunikasi internal kepada para pemimpin
harus dilakukan dengan intensif dan sedini mungkin saat pergantian
pemimpin terjadi. Hal ini bertujuan untuk membentuk awareness akan
transformasi.
Awareness para pemimpin yang baik adalah cikal bakal keterlibatan dan
komitmen yang tinggi. Para pemimpin yang baru perlu mengetahui betapa
pentingnya transformasi kelembagaan dalam membentuk DJP yang kuat,
efektif, dan menyokong pembiayaan pemerintahan terpilih.
Selain itu para
pemimpin perlu mengetahui bahwa inilah kesempatan yang pas untuk
membuat perubahan sektor ekonomi di Indonesia melalui transformasi
kelembagaan di DJP dimana kesuksesan program ini akan berdampak besar
tidak hanya bagi perbaikan birokrasi pemerintahan tetapi juga kekuatan
perekonomian bangsa.
Inilah saat yang tepat bagi Para pemimpin yang
terlibat dalam program transformasi kelembagaan untuk menunjukkan
kapabilitas kepemimpinannya dengan hasil yang lebih nyata dan terukur.
Kesimpulan
Momentum pemilu presiden adalah wake up call bagi DJP untuk
bersiap-siap menyongsong pergantian kekuasaan eksekutif. Dengan
mematangkan strategi dan memitigasi setiap risiko yang ada, maka
sustainability Program Transformasi Kelembagaan akan tetap terjaga.
Desentralisasi informasi dan penggalangan Change Agents di daerah-daerah
seluruh Indonesia untuk memastikan dukungan mayoritas untuk
transformasi dan mengokohkan pondasi perubahan yang selama ini telah
dibangun.
Selain itu, menjaga momentum transformasi juga harus dilakukan
dengan meningkatkan awareness para pemimpin baru melalui komunikasi
internal yang intensif sedini mungkin.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi dimana penulis bekerja.
Referensi Tulisan:
No comments:
Post a Comment