Pihak pemerintah mengajukan tanggapan atas pengujian Pasal 23 ayat (2) UU No. 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh) yang diajukan PT PT Coltrans Asia.
Dalam tanggapannya, pemerintah menganggap pemohon keliru memahami
ketentuan Pasal 23 ayat (1) huruf c UU PPh itu. Sebab, pendelegasian
dari UU PPh kepada aturan yang lebih rendah sudah sesuai asas
pembentukan peraturan perundang-undangan.
“Pasal 23 ayat (2) UU PPh yang mendelegasikan peraturan kepada menteri
keuangan untuk mengatur jenis jasa lain tidak melanggar hak
konstitusional pemohon karena ketentuan itu sesuai dengan asas-asas
pembentukan peraturan perundang-undangan,” kata Kepala Penelitian dan
Pengembangan Kemkumham Mualimin Abdi saat membacakan tanggapan
pemerintah di ruang sidang MK, selasa (16/9).
Pasal 23 ayat (2) UU PPh menyebutkan “Ketentuan lebih lanjut
mengenai jenis jasa lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
angka 2 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.”
Mualimin menjelaskan UU PPH tidak memungut PPh atas dasar bidang usaha
tertentu, tetapi didasarkan pada jenis penghasilannya. Karenanya,
dimungkinkan atas penghasilan yang berasal dari bidang usaha yang sama
dapat dilakukan pemotongan/pemungutan dengan tarif berbeda. “Ini
tergantung jenis penghasilan yang menjadi dasar pengenaan pajaknya,”
katanya.
Dia tegaskan UU PPh sudah mengatur mengenai subyek pajak, objek pajak,
dan tarif pajak dengan pengenaan yang merata serta pembebanan yang adil
bagi seluruh wajib pajak. “Jadi UU PPh ini sudah memenuhi asas keadilan
bagi para wajib pajak.”
Karena itu, pemerintah menilai dalil pemohon yang mengalami kerugian
konstitusional karena berlakunya Pasal 23 ayat (1) huruf c UU PPh adalah
tidak benar dan tidak relevan. “Sepatutnya, majelis hakim MK memutuskan
agar permohonan pemohon ditolak atau setidak-tidaknya dinyatakan tidak
diterima,” harapnya.
Sebelumnya, Pasal 23 ayat (2) UU PPh dinilai merugikan PT Coltrans Asia
karena menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan. Sebab, frasa
“jenis jasa lain” dalam pasal tersebut dimaknai Ditjen Pajak termasuk
pemotongan PPh Pasal 23. Padahal, jenis jasa usaha pemohon masuk dalam
lingkup pelayaran yang memiliki karakteristik berbeda dari jenis usaha
lainnya, sehingga semestinya tunduk pada UU Pelayaran.
Pemohon menilai frasa ‘jenis jasa lain’ dalam Pasal 23 ayat (2) UU PPh
telah tumpang tindih dengan UU lain yang mengatur bidang usaha tertentu,
sehingga telah melanggar asas-asas pembentukan peraturan
perundang-undangan.
Karena itu, pemohon meminta MK menyatakan frasa “jenis jasa lain” dalam
pasal tersebut inkonstitusional sepanjang dimaknai dengan tanpa
memperhatikan UU lain yang telah mengatur klasifikasi lapangan/bidang
usaha tertentu.
No comments:
Post a Comment